Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menyampaikan bahwa Indonesia mampu untuk menjadi kiblat fesyen muslim dunia.
Oleh sebab itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berkomitmen memperkuat ekosistem industri halal melalui pengembangan fesyen muslim. Salah satunya dengan penyelenggaraan Jakarta Muslim Fashion Week (JMFW).
“Sesuai arahan Wakil Presiden RI, kami meyakini Indonesia dapat menjadi kiblat fesyen muslim dunia. Ini juga dibuktikan karena secara global, konsumsi produk fesyen muslim dunia pada 2024 diprediksi mencapai US$311 miliar,” katanya saat ditemui Bisnis belum lama ini.
Sekadar informasi, Kegiatan JMFW merupakan inisiasi Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag bekerja sama dengan KADIN Indonesia dan pemangku kepentingan terkait seperti perancang busana, merek fesyen, pelajar, perusahaan tekstil, merek kosmetik, merek aksesori fesyen, media dan pemerintah.
Lutfi pun meyakini nilai tersebut akan naik dibandingkan 2019 yang sebesar US$ 277 miliar.
“Oleh karena itu, kami ingin menangkap dan menonjolkan potensi industri syariah Indonesia yang salah satunya adalah fesyen muslim,” ujarnya
Lutfi pun menambahkan, Pemerintah berkomitmen untuk mewujudkan Indonesia menjadi kiblat fesyen muslim dunia. Sesuai dengan Roadmap Fashion Muslim Indonesia, JMFW memiliki fokus strategi kegiatan selama 2022-2024
Pada 2022, fokus strateginya adalah penguatan merek. Kemudian, pada 2023 ditargetkan untuk penguatan jaringan dengan terjun langsung dalam peta fesyen internasional.
Selanjutnya, pada 2024 ditargetkan untuk deklarasi Indonesia sebagai pusat fesyen muslim dunia. Sebagai langkah awal, Kementerian Perdagangan telah menancapkan pilar melalui kegiatan Embracing Jakarta Fashion Week pada 2021
Dia menjabarkan, saat ini fesyen muslim, Indonesia berada di posisi ke-5 sebagai pasar terbesar dunia, berada di bawah Iran, Turki, Arab Saudi, dan Pakistan. Adapun, di sisi lain, Indonesia merupakan eksportir produk fesyen muslim ke-18 dunia. Eksportir utama produk tersebut adalah Tiongkok, Turki, India, Uni Emirat Arab, dan Bangladesh.
Sementara itu, Populasi muslim Indonesia tercatat mencapai 231 juta. Sementara itu, populasi muslim dunia sebesar 1,9 miliar atau setara 26 persen total populasi dunia. Dengan jumlah populasi tersebut Mendag Lutfi optimistis, kebutuhan terhadap produk halal juga cukup besar.
Meskipun memiliki potensi yang luar biasa besar, tetapi Lutfi menilai bahwa industri fesyen muslim Tanah Air masih memiliki salah satu tantangan utama yaitu kemampuan riset dan pengembangan (research and development/R&D)
“Saat ini kami ingin mengumpulkan para pemangku kepentingan, duduk bersama untuk mendorong brand halal sehingga ekosistem bisa dibangun secara lebih profesional. Tujuan awal yang ingin dicapai adalah mendorong R&D,” ujarnya.
Dia mengamini, tantangan dari pelaku adalah kemampuangan riset dan pengembangan produk sehingga ini juga menjadi pekerjaan rumah dari pemerintah untuk menjadikan kiblat fesyen halal.
“Industri fesyen islam di Indonesia saat ini pasarnya mencapai US$16 Miliar dengan kemampuan ekspor US$400 juta sekarang harapan kami 3–4 tahun ke depan dengan pasar yang begitu besar, ekspor bisa mencapai angka double dibanding saat ini,” tuturnya.
Senada, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan KADIN Juan Permata Adoe mengatakan riset dan pengembangan merupakan komponen yang dibutuhkan di semua sektor, tidak hanya terbatas di industri fesyen muslim.
Penyebabnya, selain merupakan komponen penting, biaya riset dan pengembangan memakan dana yang besar.
“Ini (R&D) biasanya mahal di awal, tetapi ketika produk sudah sustain akan memiliki nilai tambah yang tinggi sehingga ini yang perlu dibantu oleh Pemerintah. Mulai dari dukungan piranti lunak seperti kemampuan SDM yang mumpuni hingga kebutuhan piranti keras seperti lab, mesin akreditasi, dan lainnya,” tuturnya.
Dia menjelaskan bahwa saat ini rata-rata di industri fesyen yang berkembang secara global membutuhkan biaya untuk riset dan pengembangan memakan 10 persen dari biaya perusahaan, tetapi di Indonesia pelaku baru sanggup memenuhi kebutuhan biaya hanya 0,5 persen.
“Kenapa? Biaya ini mahal [riset dan pengembangan] dan secara finansial pelaku usaha di Tanah Air belum mampu, tetapi bila pemerintah turun dan hadir untuk meningkatkan nilai tambah [industri ini] maka ke depan pelaku bisa berjalan secara mandiri untuk menembus pasar internasional secara sustain,” tuturnya.