Bisnis.com, JAKARTA - Peneliti menemukan bahwa banyak informasi tidak akurat soal produk tembakau alternatif beredar di Indonesia. Kebanyakan, misinformasi tersebut tanpa diperkuat dengan kajian ilmiah.
Peneliti dan akademisi dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Amaliya berupaya mengumpulkan bukti dan melakukan penelitian mengenai produk tembakau alternatif dengan mengepankan pendekatan pengurangan bahaya.
Selain melakukan penelitian, dia juga turut menjadi panelis dalam memaparkan hasil kajian klinis “Nikotin dan Respon Gusi Pada Pengguna Vape vs. Perokok Saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan (Gingivitas Eksperimental)”.
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari penggunaan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, bagi pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi pada para pengguna produk tembakau alternatif yang telah beralih dari rokok dibandingkan dengan perokok dan bukan perokok," ujarnya, dikutip Senin (28/8/2023).
Dia menjelaskan penelitian ini bertujuan untuk mengamati respons gusi yang dinilai dari derajat peradangan gusi, yang merupakan tanda awal dari pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi selama percobaan gingivitis (peradangan gusi) pada pengguna produk tembakau alternatif dibandingkan perokok dan bukan perokok.
Temuannya, pengguna produk tembakau alternatif yang telah beralih dari rokok menunjukkan respons yang baik terhadap akumulasi plak atau infeksi bakteri dengan tingkat peradangan gusi seperti yang dialami non-perokok
Dia berpendapat jalan terbaik untuk kesehatan publik memang tidak mengonsumsi tembakau sama sekali. Namun, bukti-bukti ilmiah seharusnya bisa mendorong jalan tengah, khususnya bagi para perokok yang sulit atau tidak ingin berhenti, agar tetap bisa mengurangi dampak negatif bagi dirinya maupun sekitarnya.
“Idealnya memang tidak merokok,” tegasnya.
Amaliya menuturkan keterbukaan pemerintah untuk melihat bukti-bukti ilmiah tentang produk tembakau alternatif diperlukan. Sejauh ini, telah diketahui bahwa produk tembakau alternatif memiliki paparan risiko senyawa kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya hingga 95 persen lebih rendah daripada rokok.
Dari sisi akademik, peneliti perlu bersikap terbuka. Menurutnya perlu ada dorongan terkait riset produk tembakau alternatif yang melibatkan berbagai pihak. Kolaborasi antar-universitas, pihak swasta, dan publik, termasuk para pengguna produk tembakau, diperlukan.