Bisnis.com, JAKARTA – Penyanyi asal Amerika Serikat Taylor Swift resmi masuk daftar orang terkaya di dunia atau kategori billionaire (kekayaan di atas Rp15 triliun) berkat konser The Eras Tour yang ikut mendorong ekonomi AS tahun ini.
Mengutip Bloomberg, Jumat (27/10/2023), riset Bloomberg Billionaires Index menunjukkan total kekayaan Taylor Swift mencapai US$1,1 miliar setara Rp17,5 triliun (asumsi kurs Rp15.900 per dolar AS).
Taylor Swift adalah salah satu dari sedikit pekerja seni yang mencapai status billionaire tersebut berdasarkan pendapatan dari musik dan konser saja. Dia dinilai berhasil menggabungkan faktor kerja keras dan bakat, berserta strategi pemasaran dan waktu perilisan yang cerdik.
Belum lagi faktor penulisan lagunya yang produktif, negosiasi dengan layanan streaming, dan keputusan cerdasnya untuk merekam ulang enam album pertamanya telah memungkinkannya menciptakan kesuksesan finansial besar-besaran di saat para musisi lain kehilangan pengaruhnya di industri musik.
Hubungan dekat yang Taylor Swift jalin dengan jutaan penggemar beratnya telah menghasilkan demografi yang lebih kuat dibandingkan partai politik mana pun. Ini dibuktikan dengan pertukaran gelang persahabatan manik-manik yang terinspirasi dari lagu Taylor Switf berjudul You're on Your Own, Kid.
Secara keseluruhan, Taylor Swift pada dasarnya bisa disebut sebagai konglomerat multinasional dengan basis pelanggan paling setia di dunia, CEO paling karismatik, dan kekuatan ekonomi yang signifikan.
Menurut perkiraan dari Bloomberg Economics, sebanyak 53 konser Taylor Swift di AS tahun ini menambah US$4,3 miliar terhadap produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.
“Selain merupakan penyanyi paling bertalenta di generasi sekarang, Taylor Swift adalah seorang ekonom hebat. Taylor mempunyai ide-ide hebat, mampu mengembangkan ide-idenya dan tampaknya cukup suka mencari risiko," kata Carolyn Sloane, ekonom tenaga kerja di University of Chicago.
Sebagai informasi, analisis Bloomberg terhadap kekayaan Taylor Swift ini bersifat konservatif dan hanya didasarkan pada aset dan pendapatan yang dapat dikonfirmasi atau ditelusuri dari angka-angka yang diungkapkan kepada publik.
Perhitungan kekayaan tersebut memperhitungkan hal-hal seperti perkiraan nilai katalog musik dan lima rumah Taylor Swift, serta pendapatan dari transaksi streaming, penjualan musik, tiket konser, dan merchandise.
Perkiraan tersebut juga memperhitungkan dampak pajak penghasilan, produksi tur dan biaya perjalanan, serta komisi yang dibayarkan kepada manajer dan agen. Swift dan perwakilannya tidak menanggapi permintaan komentar Bloomberg.
Adapun The Eras Tour yang akan dilanjutkan dengan sembilan pertunjukan di Amerika Selatan bulan depan, adalah contoh simbiosis yang menjadi ciri khas karier Swift.
Setelah merilis banyak lagu selama pandemi, sang bintang kembali ke dunia konser tepat ketika dunia yang haus akan musik live bersiap untuk mengeluarkan uang. Strategi ini membantu The Eras Tour mengumpulkan lebih dari US$700 juta dalam penjualan tiket untuk pertunjukan yang dilakukan hingga saat ini, menurut perkiraan Bloomberg.
Tiket rata-rata konser The Eras Tour berharga US$254, meskipun banyak orang membayar jauh lebih mahal di pasar ‘kedua’.
Swift sempat disebutkan dalam June Beige Book milik Federal Reserve Bank of Philadelphia karena memacu pertumbuhan ekonomi kota tersebut, sementara Ketua Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa pengeluaran untuk fenomena budaya seperti The Eras Tour, tur dunia Renaissance Beyonce, dan film Barbie juga termasuk dalam daftar tersebut.
Budaya pop ini masuk radar para pembuat kebijakan AS saat mereka membahas kenaikan suku bunga lebih lanjut dan menentukan bagaimana nasib konsumen Amerika.
“Fakta bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk membayar harga tiket yang tinggi adalah hal yang penting. Itu adalah pertemuan antara orang-orang yang memiliki tabungan, orang-orang yang memiliki keinginan untuk berbelanja, dan fakta bahwa Taylor Swift memproduksi sejumlah album yang bagi banyak orang menjadi soundtrack pandemi,” kata Brett House, profesor praktik profesional di bidang ekonomi Columbia Business School.