Bisnis.com, JAKARTA — Lingkungan kerja yang memiliki tuntutan tinggi bisa menjadi pintu masuk dari kebiasaan berisiko, salah satunya merokok.
Psikolog Sukmayanti Rafisukmawan mengatakan masalah kesehatan mental yang diakibatkan tuntutan di tempat kerja bisa memicu kebiasaan merokok untuk mengurangi stres.
Menurutnya, seseorang yang dalam posisi stres akan berusaha mencapai keadaan seimbang dengan melakukan coping mechanism, yakni kebiasaan berisiko untuk kesehatan fisik ataupun mental.
"Contohnya, makan ketika sedang stres, mengonsumsi kafein hingga menjadi kekurangan tidur, konsumsi alkohol berlebihan, dan kebiasaan merokok," kata Sukmayanti dalam keterangannya, Selasa (29/10/2024).
Dia berpendapat cara mengurangi kebiasaan buruk akibat stres di tempat kerja, perlu adanya penguatan literasi terhadap masyarakat mengenai konsep pengurangan risiko. Penerapan dari konsep tersebut seperti menerapkan pola hidup yang sehat.
Contohnya, mengonsumsi sayur dan buah, mengurangi konsumsi kopi dengan gula yang berlebihan secara perlahan, maupun beralih ke produk-produk tembakau alternatif bagi pekerja yang kesulitan untuk mengurangi kebiasaan merokok. Adapun, produk tembakau alternatif seperti vape, produk tembakau yang dipanaskan, maupun kantong nikotin.
Sukmayanti menuturkan seringkali upaya berhenti merokok tidak bisa dilakukan secara langsung. Perokok akan mengalami gejala relapse yang memunculkan kegelisahan dan membuat seseorang tidak bisa berkonsentrasi.
"Oleh sebab itu, perlu mengurangi kebiasaan berisiko tersebut secara perlahan dengan menggunakan produk-produk yang telah terbukti secara ilmiah menurunkan risiko kesehatan seperti rokok elektronik dan produk tembakau," katanya dalam diskusi “Membangun Kesadaran Risiko Kesehatan Mental” yang digelar Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (Masindo).
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Kesehatan Publik dan Ahli Kesehatan Keselamatan Kerja, Felosofa Fitrya, menambahkan sebagian besar waktu produktif orang dewasa dihabiskan di tempat kerja.
Mengutip laporan World Health Organization (WHO), kata Felosofa, sekitar 15 persen dari pekerja secara global mengalami gangguan mental. Situasi tersebut menyebabkan penurunan produktivitas, peningkatan absensi, dan eskalasi biaya kesehatan.
“Perusahaan perlu menyediakan layanan konseling gratis seperti program Employee Assistance Program untuk membantu karyawan menghadapi tekanan di lingkungan kerja,” ujarnya.
Dari sisi karyawan, mereka dapat mulai mengidentifikasi kebiasaan-kebiasaan berisiko akibat tekanan pekerjaan seperti konsumsi makanan dengan nutrisi yang tidak seimbang, minim aktivitas fisik, hingga kebiasaan merokok.