Bisnis.com, JAKARTA - Stres dan kecemasan bukan hanya soal kesehatan menrtal. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa dalam jangka panjang, keduanya dapat merusak pembuluh darah dan memicu penyakit jantung koroner (PJK).
Penyakit Jantung Koroner (PJK) masih menjadi penyebab utama kematian di dunia. Data Global Burden of Disease menunjukkan bahwa lebih dari 244 juta orang di dunia hidup dengan PJK, termasuk sekitar dua juta penduduk Indonesia.
Di tengah prevalensi yang tinggi dan kompleksitas dalam penanganan medis pada penyakit ini, praktik spiritual Islam seperti dzikir (remembrance of God) muncul sebagai opsi komplementer yang potensial dan menjanjikan.
Sebuah studi tinjauan yang dipimpin oleh dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menunjukkan bahwa dzikir mampu menurunkan stres, meningkatkan daya tahan tubuh, dan memperbaiki keseimbangan sistem saraf otonom, dimana ketiganya merupakan komponen penting dalam menjaga kesehatan jantung.
Prof. Dr. H. Abdurachman, dr., M.Kes. PA(K) dilansir dari laman resmi Unair mengatakan dzikir bukan hanya aktivitas ibadah verbal, tetapi juga dapat memicu respons fisiologis yang menyehatkan.
Ketika seseorang melafalkan dzikir dengan konsisten, tubuh merespons dengan menurunkan kadar hormon stres (kortisol) dan meningkatkan horman bahagia seperti endorfin serta dopamin. Efek ini berdampak langsung pada sistem saraf otonom yang mengatur tekanan darah dan denyut jantung serta keseimbangan hormonal.
Salah satu dzikir ringan namun penuh makna adalah “Subhanallah wa bihamdih, Subhanallahil ‘Adzim”, jika dzikir ini dibaca seacara berulang dapat membentuk pola pikir optimis dan penuh syukur. Kedua karakter ini berperan penting dalam menurunkan stres oksidatif dan menjaga imunitas tubuh. Dalam kondisi mental yang baik, tubuh lebih mampu mengatur tekanan darah dan menghindari inflamasi pembuluh darah yang merupakan dua faktor yang berkaitan erat dengan risiko PJK.
Kajian ini mengumpulkan lebih dari 50 artikel ilmiah dalam rentang 10 tahun terakhir dari database Scopus, PubMed, dan Google Scholar. Salah satu temuan menariknya adalah bahwa pasien sindrom koroner akut (ACS) yang mendapat terapi dzikir menunjukkan penurunan nyeri dada dan tingkat kecemasan secara signifikan dibanding kelompok kontrol.
Studi lain menunjukkan bahwa pasien hemodialisis yang rutin melakukan dzikir mengalami penurunan kecemasan dan peningkatan kualitas hidup. Tidak hanya pada aspek psikis, dzikir juga memengaruhi sistem imun dan inflamasi melalui regulasi interleukin dan C-reactive protein.
Lebih dari itu, praktik dzikir ternyata juga merangsang peningkatan ekspresi reseptor opioid dan beta-endorfin, yakni komponen alami penghilang rasa sakit dalam tubuh. Ini menjelaskan bagaimana dzikir dapat menjadi pendekatan terapeutik yang murah, mudah diakses, dan minim efek samping dalam pengelolaan penyakit kronik, termasuk PJK.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa dzikir merupakan sarana efektif untuk membentuk karakter yang lebih baik, seperti optimisme dan rasa syukur. Individu dengan karakter demikian cenderung memiliki respons stres yang rendah, sistem imun yang lebih kuat, serta risiko penyakit kronis yang lebih kecil.
Sebaliknya, karakter pesimis, penuh kekhawatiran, dan mudah kecewa sering kali diasosiasikan dengan gangguan fungsi endotel pembuluh darah, pemicu inflamasi, hingga aterosklerosis. Oleh karena itu, dzikir diposisikan bukan hanya sebagai praktik spiritual, tetapi sebagai intervensi psikospiritual berbasis bukti ilmiah.
Dzikir bukan hanya warisan spiritual umat Islam, tapi juga terbukti memiliki efek fisiologis yang berdampak pada kesehatan jantung. Studi ini menunjukkan bahwa mengingat Allah secara konsisten, dengan penuh kesadaran dan ketenangan, mampu meningkatkan optimisme, menurunkan stres, dan menjaga kestabilan fungsi jantung.
Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, dzikir menjadi pendekatan komplementer yang tidak asing dan mudah diimplementasikan. Temuan ini mendorong kita untuk melihat kembali praktik spiritual, tidak hanya sebagai ibadah ritual, tetapi juga sebagai strategi kesehatan preventif yang potensial dalam skala masyarakat.
Tim peneliti menekankan bahwa dzikir bukanlah pengganti pengobatan medis, namun bisa menjadi terapi komplementer yang mendukung proses penyembuhan dan pencegahan. “Dengan penguatan karakter melalui dzikir, kita bisa membentuk psychological well-being yang lebih stabil, yang pada gilirannya berdampak positif pada kesehatan jantung,” tambahnya.