Bisnis.com, JAKARTA--Ya, aku membunuh Munir, artinya akulah yang merencanakan agar riwayat hidup manusia yang dimulai dari tanggal 8 Desember 1965 di Malang itu bisa segera ditamatkan dan ternyata berhasil pada hari Selasa 7 September 2004 di udara, dalam pesawat Garuda, 40.000 kaki di atas tanah Rumania
Oalah, Munir, Munir, maksud hati melanjutkan kuliah di Utrecht, Belanda, dengan tesis tentang penghilangan paksa sebagai pilihan politik rezim militer, dari tahun 1965 sampai 1998, kok malah hilang sendiri.
Begitulah kiranya penggalan dari sebuah cerita pendek (cerpen) berjudul Aku, Pembunuh Munir oleh Seno Gumira Ajidarma yang diris di Melbourne pada 12 September 2013.
Cerpen di atas merupakan bukti bahwa perjuangan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) kini semakin tertumpah kepada seni. Gebrakan cerpen tersebut sebagai pengingat rezim menolak lupa.
Istri dari pahlawan HAM Munir, Suciwati menganggap perjuangan-perjuangan menggapai keadilan bagi Munir tidak pernah berhenti sejak terbunuhnya Munir pada 2004 hingga sekarang. Dari karya seni terbitan Pramoedya Ananta Tour, Lagu Iwan Fals yang berjudul Pulanglah hingga perupa Joko Pekik dan Nasirun menggambar Munir dengan latar belakang Banteng Jawa.
Tak hanya itu dukungan-dukungan terus mengalir dari seniman-seniman jalanan yang menggambar grafiti wajah Munir, penyanyi Glenn Fredly yang menciptakan lagu tentang Munir dan para seniman batu yang membuat replika batu wajah Munir.
“Semua aksi tersebut menunjukkan dukungan terhadap Munir. Dia adalah sosok pahlawan dan idola. Ada satu titik yang ingin disampaikan dari dulu hingga sekarang yaitu kapan utang negara menuntaskan kasus Munir akan dibayar,” katanya kepada Bisnis.
Dia juga menambahkan jika kasus Munir terungkap, maka akan menjadi pintu masuk untuk membuka kasus-kasus penyelewengan HAM yang lainnya.
“Untuk kampanye melawan lupa, aksi seni dari banyak seniman tersebut sangatlah efektif. Hal tersebut mengingatkan beberapa pihak atas Munir yang sosok fisiknya sudah tidak ada sejak 2004 tetapi masih dirasakan keberadannya sebagai pahlawan nasional. Namun dalam sisi penegakan hukum, hal tersebut tidak berjalan efektif dalam sistem pemerintahan yang bobrok, buruk dan busuk ini,” paparnya.
Aksi Melawan Lupa Munir yang digelar tak hentinya selama 9 tahun ini sudah dirasa cukup bagi Suciwati dan kedua anaknya. Dia merasa mendapatkan dukungan oleh berbagai pihak baik di tingkat nasional dan internasional. Bahkan beberapa tempat seperti Utrecht dan London pernah memperingati hari Munir pada 7 September.
“Cak Munir bukan lagi milik keluarga, tetapi sudah menjadi milik publik,” pungkasnya.