Bisnis.com, JAKARTA-- Pada 135 tahun lalu, RA Kartini lahir di Jepara dan kemudian wafat pada usia 24 tahun, tepatnya 4 hari setelah melahirkan anak pertama dan satu-satunya.
"Beliau meninggal dunia disebabkan oleh perdarahan setelah melahirkan, yang kemungkinan akibat keterbatasan tenaga kesehatan yang terampil, dan sarana prasarana kesehatan saat itu," kata dokter Anung Sugihantono, Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan, di Jakarta, Senin (21/4/2014).
Saat ini, lanjutnya, setahun sebelum Millenium Development Goals (MDGs) berakhir, kejadian kematian ibu masih saja terjadi.
Anung menyampaikan hal tersebut dalam seminar bertema Kartini, Perempuan dan Generasi Baru yang diselenggarakan di RS Budi Kemuliaan Jakarta, dalam rangka memperingati Hari Kartini 21 April.
"Tema yang dipilih untuk pertemuan ini sangat relevan dengan komitmen pemerintah untuk mencapai MDGs, khususnya MDG 5 tentang peningkatan kesehatan ibu," ungkap Anung.
Menurut dia, pencapaian target MDG 5 tidak mungkin terwujud jika dikerjakan sendiri oleh Kementerian Kesehatan tanpa didukung pihak lain, khususnya rumah sakit yang mengutamakan kesehatan ibu dan anak.
Dari tahun ke tahun, katanya, secara nasional kualitas pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi cenderung semakin membaik. Hal ini salah satunya ditandai dengan peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi.
Berdasarkan Riskesdas 2013, tambahnya, cakupan kunjungan antenatal K1 telah mencapai 81,3%, cakupan kunjungan antenatal K4 mencapai 70,0 %, dan cakupan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan 86,9%.
Namun, lanjutnya, hal tersebut tidak seiring dengan angka kematian ibu (AKI), di mana AKI di Indonesia masih tinggi yaitu 359/100.000 kelahiran hidup.
"Padahal target MDG 5 Indonesia pada 2015 sebesar 102/100.000 kelahiran hidup, sehingga target tersebut masih belum dapat dicapai."
Angka kematian bayi (AKB), katanya, berdasarkan SDKI 2012 sebesar 32/1000 kelahiran hidup, dimana target MDG 4 pada 2015 sebesar 23/1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Neonatal (AKN) sebesar 20/1000 kelahiran hidup, dimana target pada 2015 sebesar 14/1000 kelahiran hidup.
Sementara itu berdasarkan data Riskesdas 2013, Kunjungan Neonatus 1 (KN1) sebesar 71,3 %, dan KN lengkap sebesar 39,3%. Dalam kualitas pelayanan neonatal ini, perlu diperhatikan juga indikator mengenai ASI Eksklusif.
Berdasarkan data SDKI 2012, persentase bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (untuk umur bayi dibawah 6 bulan) sebesar 41%, ASI eksklusif pada bayi umur 4-5 bulan sebesar 27 %, dan yang melanjutkan menyusui sampai anak umur 2 tahun sebesar 55%.
Melihat kondisi tersebut, ujarnya, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam menurunkan AKI dan AKB. Yaitu melalui pendekatan siklus hidup (continuum of care) yang dimulai sejak masa pra hamil, hamil, bersalin dan nifas, bayi, balita, hingga remaja.
Pada masa kehamilan, katanya, program ditekankan untuk menjaga kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya, antara lain pemberian informasi mengenai ASI ekslusif yang diberikan sejak pemeriksaan antenatal.
Adapun pada masa pascapersalinan, program ditekankan pada upaya menjaga kesehatan ibu dan bayi antara lain melalui pemberian Inisiasi Menyusu Dini (IMD), serta pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan.
Kebijakan itu telah dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 33/2012, tentang pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif.