Bisnis.com, JAKARTA - Koordinator Nasional LBH APIK Nursyahbani Katjasungkana mengungkapkan banyak pihak yang memandang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan sebagai tindak pidana.
"Banyak pihak, termasuk perempuan korban KDRT, tidak memandang KDRT bukan merupakan tindak pidana," kata Nursyahbani saat berbicara dalam diskusi di Jakarta, Selasa.
Padahal, UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sudah menyatakan tindakan kekerasan terhadap istri/perempuan merupakan tindak pidana (kriminalisasi).
Nursyahbani mengatakan hal ini dapat dilihat dari fakta tidak semua perempuan korban KDRT melaporkan kasus yang mereka alami ke jalur pidana.
"Hampir kebanyakan korban menempuh jalur perdata (perceraian), ini karena sosialisasi UU PKDRT masih kurang memadai," kata Nursyahbani.
Dia berharap kepada semua pihak sering melakukan sosialisasi materi dan filosofi UU PKDRT ini secara terus-menerus baik kepada masyarakat dan aparat penegak hukum.
"Ini yang mendorong tingkat perceraian yang diajukan istri (gugat cerai) dengan alasan mengandung unsur KDRT meningkat angkanya dari tahun ke tahun," katanya.
LBH APIK sendiri mencatat sejak tahun 2011 angka gugat cerai berjumlah 9.206 kasus, 2012 menjadi 10.365 kasus dan 2013 kembali meningkat menjadi 11.375 kasus.
"Angka KDRT tiga tahun terakhir juga cenderung meningkat," kata Direktur LBH APIK Ratna Batara Munti.
Pada tahun 2011 dari 706 kasus yang ditangani LBH APIK Jakarta, 417 adalah kasus KDRT.
Pada 2012 dari 654 yang ditangani, 347 adalah kasus KDRT. Pada 2013, dari 504 yang ditangani, 372 kasus korban KDRT. Sementara data Komnas Perempuan mencatat dari 279.760 kasus yang masuk, ada 11.719 kasus KDRT.
Sementara Dirjen Badan Peradilan Agama MA Purwosusilo dalam makalahnya mencatat pada 2011 alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 2.795 kasus, menyakiti mental 700 kasus, dan tidak tanggung jawab/pelantaran sebanyak 73.940 kasus.
Pada 2012, alasan perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 3.693 kasus atau naik 32% dari tahun sebelumnya, menyakiti mental 1.089, dan tidak tanggung jawab 78.906.
Dalam makalahnya itu, Purwosusilo mengklaim Pengadilan Agama sudah banyak merespons penerapan UU PKDRT melalui UU Pengadilan Agama, kebijakan, dan putusan pengadilan.
"Dalam hal alasan perceraian akibat KDRT, istri dapat mengajukan gugatan provisi, permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi seorang pendamping," kata Purwosusilo.