Bisnis.com, JAKARTA - Suatu hari, Ayu Utami bertemu dengan beberapa penggemar di sebuah acara peluncuran buku. Oleh para penggemar, penulis yang tenar lewat novel Saman dan Larung ini diminta untuk menandatangani buku karyanya. Namun betapa terkejutnya Ayu, rupanya buku yang hendak dia bubuhi tanda tangan adalah buku bajakan.
Si penggemar pun juga tak kalah terkejut. Sembari menahan malu, penggemar itu mengaku jika dia tak tahu bahwa buku terse-but adalah bajakan.
Bagi Ayu, kejadian seperti itu tidak terjadi sekali dua kali. Di satu sisi, dia merasa sedih karena bukunya sudah dibajak tanpa pembaca menyadarinya. Namun di sisi lain, hal tersebut dia anggap lucu.
Lucu karena lewat kejadian itulah dia tahu bahwa karyanya rupanya diminati. “Tetapi tetap saja pada akhirnya saya adalah pihak yang dirugikan karena ada hak [royalty] yang tidak dibayarkan,” ujarnya.
Menurut Ayu, penulis seperti dirinya bukanlah satu-satunya pihak yang dirugikan akibat peredaran buku bajakan. Pihak lainnya adalah penerbit. Jika dibandingkan dengan penulis, penerbit merupakan pihak yang paling dirugikan.
Hal itu diakui oleh Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rosidayati Rozalina. Menurut dia, maraknya peredaran buku bajakan sangat merugikan penerbit. Hanya saja, sejak berdiri pada 1950 silam, Ikapi belum memiliki data riil tentang nilai kerugian yang dialami oleh industri penerbitan. Penyebab utamanya karena aktivitas penerbitan buku bajakan yang sulit dilacak.
"[Kini] Seiring disahkannya kepengurusan Ikapi yang baru, kami membentuk kompartemen khusus yang menangani riset dan kehumasan. Tugas utamanya adalah membuat data perbukuan agar lebih komprehensif dan detail,” ujarnya usai dilantik sebagai Ketua Umum Ikapi periode 2015-2020 beberapa waktu lalu.
Berbagai cara dilakukan Ikapi untuk memberantas peredaran buku bajakan. Di antaranya menjalin kerasama dengan Pemerintah DKI Jakarta membentuk kelompok kerja (Pokja) khusus memberantas buku bajakan. Sayangnya, langkah tersebut tidak berjalan efektif lantaran aturan pemerintah dan perangkatnya belum bekerja secara maksimal.
Ida – sapaan Rosidayati – mengakui bahwa memberantas pembajakan buku tak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu komitmen dan keterlibatan penuh dari semua pihak baik pemerintah, penerbit dan penegak hukum. Ida mengandaikan pemberantasan buku bajakan layaknya membasmi virus. “Meski sudah ditindas, masih saja terus bermunculan di tempat baru,” kata Ida.
Setali tiga uang, Chief Executive Officer Noura Book (Mizan Group) Pangestuningsih mengatakan pembajakan buku sangat merugikan pihaknya. Dirinya merasa miris karena para pembajak dengan gampangnya mencetak ulang buku-buku mereka tanpa izin. Namun, pihaknya kesulitan untuk melacak. Pembajakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga sukar mendapat bukti konkret.
“Miris juga sebenarnya, tetapi kami sulit untuk mendapatkan buktinya. Usaha kami paling minimal dengan menyebarkan informasi lewat social media mengenai peredaran buku bajakan yang mirip dengan produksi Mizan,” tukasnya.
Berdasarkan temuan Mizan, pembajakan tidak lagi hanya terjadi di ranah nyata tetapi sudah merambah ke dunia maya. Beberapa buku bestseller Mizan memang dapat diperoleh secara digital (E-book ). Namun, oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, sistem Mizan diretas dan buku tersebut dijual secara bebas di Internet. Setelah ditelusuri, server peretas tersebut ternyata berada di Cekoslovakia sehingga pihak Mizan tak mampu berbuat banyak.
Perempuan yang akrab disapa Tutu ini menambahkan bahwa secara keseluruhan bisnis penerbitan buku dari tahun ke tahun semakin lesu. Bahkan toko buku besar seperti Gramedia kini hanya menyediakan space untuk buku sekitar 40%.
Sementara itu sisanya diisi dengan non buku, seperti perlengkapan olahraga, komputer, dan lain-lain. Kalaupun ada kenaikan omzet, hal tersebut tak lain karena ‘pertolongan’ buku best seller sehingga mereka dapat menutupi kekurangan biaya buku yang belum laku terjual.
Pernyataan Tutu senada dengan data yang dirilis Ikapi. Hingga September 2015, total penerbit yang terdaftar di Ikapi mencapai angka 1.328. Namun, yang tercatat sebagai penerbit aktif hanya 711 atau 53,54%.
Penerbit aktif artinya penerbit yang sanggup menerbitkan paling sedikit 10 judul buku per tahun. Selanjutnya, 3% total penerbit aktif yang sanggup menerbitkan buku di atas 200 judul per tahun. Sementara itu, sebanyak 617 penerbit atau 46,46% merupakan penerbit tidak aktif, yang menerbitkan buku secara terbatas dan sporadis.
Data dari Gramedia Bookstore yang menjadi acuan pendataan Ikapi pun menunjukkan tren penurunan. Pada 2014, buku baru yang diterbitkan mencapai 24.204 judul, turun 9,1% dari tahun sebelumnya 26.628 judul. Artinya, dalam setahun terjadi penurunan jumlah judul buku baru sebanyak 2.424 buku. Meski penurunan tersebut tidak seluruhnya dipengaruhi oleh maraknya pembajakan, tetapi pengaruh dari pembajakan dinilai cukup signifikan.
Hal ini diungkapkan oleh Manajer Eksekutif Penerbit Buku Kompas Patricius Cahanar. Menurutnya, pembajakan membuat penerbit kehilangan pendapatan dan persediaan buku akan menumpuk karena tidak laku terjual. Hal itu bermuara pada kerugian yang lebih besar.
“Kalau penerbit pasti terpengaruh [oleh pembajakan], termasuk penerbit kami. Namun kami belum mempunyai perhitungan detail mengenai kerugian. Yang kami rasakan adalah perkembangan industri buku resmi [melalui toko buku] berjalan stagnan selama beberapa tahun ini,” tuturnya.
HARGA MAHAL
Jika dikaji lebih dalam, pangkal utama maraknya pembajakan buku rupanya terletak pada ketimpangan harga. Tak bisa dipungkiri harga buku yang dicetak penerbit resmi jauh lebih mahal dibandingkan buku bajakan. Hal ini terkait dengan rantai produksi yang cukup panjang dan membutuhkan ongkos yang tidak murah, mulai dari penerbit, produsen kertas, percetakan, distributor, ekspeditur hingga toko buku atau agen.
Di luar itu, untuk setiap eksemplar buku yang terjual, penerbit wajib membayar royalti kepada penulis buku. Hal itu masih ditambah dengan banyaknya pajak yang harus ditanggung oleh penerbit dan percetakan seperti pajak atas kertas, pajak ongkos cetak, pajak buku, pajak penghasilan penulis dan lain-lain. Keseluruhan biaya tersebut yang kemudian diakumulasi menjadi harga pada sebuah buku.
Sementara itu, dalam proses membajak buku, ongkos-ongkos tersebut langsung terpangkas karena tidak melalui rantai produksi yang panjang. Oleh karena nirpajak, harga cetak per eksemplar buku bajakan menjadi jauh lebih murah.
Berdasarkan penelusuran Bisnis.com ke sejumlah toko penjual buku bajakan di kawasan Pasar Senen Jakarta dan Depok, beberapa buku yang sering dibajak antara lain Kamus Bahasa Inggris - Indonesia Hasan Shadily serta novel-novel laris karya Pramoedya Ananta Toer dan Ayu Utami.
Harga buku-buku bajakan dapat mencapai setengah harga buku legal. Bahkan, bila pandai menawar, harga yang diperoleh bisa lebih murah (lihat tabel). Terkait hal ini, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI) Jimmy Juneanto menyarankan agar buku-buku yang rawan dibajak diproduksi dalam jumlah besar agar harganya lebih murah.
Dia mencontohkan buku kedokteran. Mayoritas buku kedokteran adalah cetakan dari luar negeri. Padahal, urgensi keberadaan barang tersebut di dalam negeri sangat tinggi. Sementara itu, pihak penerbit lokal tidak dapat menyediakannya dalam waktu singkat.
“Yang harus diperhatikan buku cepat tersedia dengan tawaran harga yang kompetitif. Caranya bisa saja dengan menyadur ke dalam bahasa Indonesia, kemudian memproduksinya dengan jumlah besar agar harga jualnya ketemu,” katanya.
Selain permasalahan harga, faktor lain yang menjadi penyebab maraknya pembajakan buku adalah regulasi yang terlalu longgar. Sekalipun di setiap buku yang dicetak tertera ancaman hukuman pidana bagi pembajak, tetap saja tak berefek. Alhasil, pihak-pihak yang dirugikan pun tak mau ambil pusing.
Ayu Utami bahkan secara terang-terangan mengatakan dirinya malas untuk berurusan dengan hukum. Pasalnya berurusan dengan hukum identik dengan ongkos. Banyak ongkos yang harus dikeluarkan seperti ongkos tenaga, waktu, dan pikiran.
“Capek melakukan suatu gugatan karena banyak ongkos yang keluar. Sebenarnya kan yang paling dirugikan adalah penerbit saya. Kalau mereka tidak melakukan langkah apa-apa lalu buat apa saya maju sendiri? Lebih baik saya menulis saja daripada menertibkan kaki lima itu,” papar Ayu.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dirjen Hak & Kekayaan Intelektual Ahmad Ramli tetap menyarankan untuk melaporkan perihal pembajakan tersebut ke direktorat. Dia memaparkan ancaman hukuman untuk pembajak buku tidak main-main. Bila terbukti, pembajak dapat dipenjara 10 tahun dan denda Rp4 miliar.
Saat ini masyarakat yang ingin mengadukan pembajakan buku tidak perlu repot datang ke kantor pusat. Pengaduan dapat dilakukan melalui sistem online.
Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pun dapat berpartisipasi dengan mengontak kantor wilayah masing-masing. “Sayangnya tidak banyak yang melaporkan untuk pembajakan buku,” ujarnya. (Abdul Rahman, Anitana Widya Puspa, Marsya Nabila & Nindya Aldila)