/Istimewa
Health

Mengurangi Tekanan Psikologis Penderita Penyakit Akut

Wike Dita Herlinda
Minggu, 17 Januari 2016 - 23:20
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Seseorang yang menderita penyakit mematikan biasanya memiliki tekanan psikologis yang cukup berat, terutama setelah menerima ‘vonis mati’-nya. Beban itu akan bertambah berat jika ternyata pasien tersebut memiliki anak yang masih dalam usia perkembangan.

Namun, beban psikologis seorang ayah atau ibu yang menderita penyakit mematikan stadium lanjut (terminal illness) tentunya tidak hanya ditanggung oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh keluarganya yang turut berjuang untuk menerima kondisi yang pahit tersebut.

Terlebih, jika penderita masih memiliki tanggung jawab penuh untuk merawat dan membesarkan buah hati yang masih kecil. Hal itu akan meningkatkan level stres secara emosional dan mempersulit kondisi pasien dalam menghadapi penyakitnya.

Peneliti psikologi dari University of North Carolina di Chapel Hill, Eliza Park, mengemukakan orangtua yang tengah melalui masa-masa sulit akibat penyakit mematikan akan menderita tekanan psikologis yang sangat hebat.

“Mereka sangat mengkhawatirkan bagaimana penyakitnya memengaruhi kehidupan anak-anaknya, bagaimana kematiannya berdampak pada buah hatinya, dan bagaimana menjelaskan kondisinya dengan bahasa yang dapat diterima anak kecil,” katanya, seperti dikutip dari Reuters.

Tekanan psikologis tersebut, lanjutnya, juga dipicu oleh pikiran negatif dan kesedihan bahwa mereka tidak akan sanggup membesarkan anak-anak mereka hingga dewasa akibat penyakit mematikan yang dideritanya.

Guna memahami keluarga yang menghadapi situasi tersebut, Eliza dan timnya meneliti 344 duda atau suami yang memiliki anak kecil yang telah ditinggalkan pasangan hidupnya akibat penyakit mematikan, seperti kanker.

Berdasarkan riset tersebut, kebanyakan istri yang meninggalkan keluarganya berusia rata-rata 44 tahun saat wafat. Biasanya, keluarga-keluarga tersebut memiliki dua orang anak di bawah usia 18 tahun, dengan usia anak termuda yaitu 8 tahun.

Sekitar 43% ibu yang meninggalkan anak-anaknya menderita penyakit kanker yang terlanjur menyebar ke organ tubuh lain saat pemeriksaan medis. Kurang dari dua per tiga pasien mendapatkan penanganan hospice care, dan 41% di antaranya meninggal dunia di rumah.]

Di antara keluarga yang diteliti, 38% di antaranya memiliki ibu yang tidak sempat mengucapkan selamat tinggal sebelum meninggal dunia, sedangkan 26% lainnya merasa tidak tenang saat mendekati ajal.

Sementara itu, 9 dari 10 duda yang yang ditinggalkan istrinya mengaku bahwa saat menghadapi hari-hari terakhir hidupnya, pasangan hidup mereka selalu gelisah tentang masa depan anak-anaknya.

KOMUNIKASI

Di sisi lain, suami-suami yang menjembatani komunikasi antara istrinya yang sakit dan dokter yang menanganinya menemukan fakta bahwa pasangan hidupnya cenderung tidak mengalami depresi berlebihan selama menghadapi penyakitnya.

Menurut Eliza, para partisipan dalam riset tersebut kebanyakan memiliki penghasilan menengah ke atas dan pendidikan yang memadai. Sehingga, hasil yang didapatkan belum tentu merepresentasikan seluruh kalangan masyarakat.

Bagaimanapun, penemuan tersebut menunjukkan bagaimana metode parenting sangat memengaruhi keputusan seseorang pada masa-masa terakhir hidupnya, dan dukungan seperti apa yang dibutuhkan oleh anak-anak untuk menghadapi situasi yang tidak mengenakkan itu.

“Bukan hanya perawatan medis secara jasmani saja yang dibutuhkan, pelayanan dan dukungan psikologis bagi orangtua yang menderita penyakit mematikan sangat krusial untuk membantunya menghadapi situasi tersebut,” jelas Eliza.

Peneliti Kent State University College of Nursing, Denice Sheehan, menambahkan seorang istri yang menderita penyakit mematikan pasti juga akan merasa cemas tentang masa depan suaminya dan anak-anaknya.

“Menghabiskan waktu berkualitas sebanyak mungkin sebelum ajal menjemput biasanya menjadi prioritas utama yang diambil. Para ibu biasanya mengkhawatirkan bagaimana anak-anaknya akan bertumbuh tanpa pendampingannya, dan siapa yang akan merawat mereka hingga dewasa.”

Itulah kenapa pentingnya menempatkan keluarga sebagai prioritas utama. Selagi masih ada waktu dan diberikan kesehatan, ada baiknya Anda mengutamakannya untuk keluarga. Jangan menunggu sampai jatuh sakit, sebab keluarga adalah harta yang paling berharga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Minggu (17/1/2016)
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro