Bisnis.com, JAKARTA-- Niat pemerintah merevisi DNI atau Daftar Negatif Investasi sektor usaha film dalam bidang produksi, distribusi dan eksebisi patut didukung. Niat tersebut merupakan langkah yang baik dan menjanjikan harapan dan peluang besar bagi perkembangan perfilman di Indonesia. Begitulah kiranya poin awal yang disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (PROFI) Sheila Timothy.
Berikut wawancara lengkapnya yang disampaikan Sheila kepada para wartawan di Jakarta, Selasa (9/2/2016).
Q: Apa Arti dari pencabutan usaha perfilman dari Daftar Negatif Investasi?
A: Kebijakan ini berarti kesempatan bagi pelaku usaha perfilman untuk mendapatkan akses terhadap investasi asing dalam sektor eksibisi, distribusi dan produksi.
Q: Mengapa revisi kebijakan DNI ini sangat penting bagi perfilman Indonesia?
A: Perfilman Indonesia memiliki potensi pertumbuhan yang sangat besar didukung dengan pesatnya pertumbuhan penduduk kelas menengah dan jumlah penduduk berusia dibawah 30 tahun. Dalam lima tahun terakhir ini, secara keseluruhan perfilman Indonesia hanya memiliki pertumbuhan total sebesar 13%. Ini adalah angka yang sangat kecil walaupun jumlah produksi film nasional terus meningkat. Dan film Indonesia hanya mendapatkan 20% jam tayang (market share). Perfilman Indonesia saat ini sangat membutuhkan stimulus untuk membangkitkan pertumbuhan. Akses terhadap investasi asing adalah salah satu stimulus yang dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ini.
Q: Bagaimana investasi asing ini dapat memberikan pertumbuhan pada usaha perfilman?
A: Akses terhadap investasi asing ini akan membantu pelaku usaha perfilman memperbesar kapasitas pasar (market size) dengan menambahkan jumlah layar. Dengan pertambahan layar ini, kebutuhan akan produk film lokal akan meningkat baik secara kuantitas maupun standar kualitas melalui transfer of technology. Selain itu, pertambahan layar dan produksi ini akan juga meningkatkan tenaga kerja baru dan penjualan tiket yang dapat menambah pemasukan pajak pemerintah. Investasi asing juga dapat memberikan akses produksi film lokal kepada pasar luar negeri, apalagi saat ini adanya kebutuhan tinggi akan produksi film lokal dari jaringan distribusi digital
Q: Apakah kebijakan ini akan mengancam budaya Indonesia?
A: Dengan pertambahan layar dan investasi, lebih banyak film indonesia berkualitas yang dapat diproduksi dan didistribusikan. Kenyataannya, saat ini tren perfilman global, para investor international saat ini justru banyak berinvestasi dalam produksi film lokal. Hal ini diperkuat juga dengan Pasal 32 dari UU No 33 Tahun 2009 tentang film dimana pelaku usaha pertunjukkan film wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurangkurangnya 60% dari seluruh jam pertujukkan film yang dimilikinya selama 6 bulan berturutturut.
Q: Kenapa sekarang?
A: Pembahasan mengenai pembukaan DNI sektor usaha film sudah dilakukan beberapa kali. Menurut keterangan BKPM, pada pembahasan pembukaan DNI eksibisi tahun 2013, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Mari Pangestu memutuskan untuk tidak membuka DNI, dengan alasan memberikan kesempatan bagi pengusaha lokal sambil terus menganalisa pasar. Jika seandainya setelah diberi waktu dan ternyata kondisi masih tetap sama, maka dikatakan harus dibuka. Dari hasil data didapat bahwa angka pertumbuhan perfilman kita sangat rendah (dalam kurun 5 tahun hanya ada perkembangan sebesar 13%). Jika tidak sekarang, kesempatan kita untuk berkembang kembali hilang. investasi asing akan fokus pada pasar lain yang lebih menarik dan kita akan semakin tertinggal.
Q: Kenapa selama ini bisa ada dana asing yang membiayai film Indonesia?
A: Selama ini yang terjadi adalah cofinancing atau pendanaan dalam bentuk grant. Yang mana jumlah dananya sangat kecil. Pembukaan sektor produksi memungkinkan investasi dana yang lebih besar, sehingga bukan hanya memberikan kesempatan untuk memproduksi film dengan biaya lebih besar dan berkesinambungan, tetapi juga transfer ilmu dan sumbangan pendapatan negara.