Bisnis.com, JAKATA- Suatu ketika Adriana, yang berusia 12 tahun dan baru menginjak kelas VII, pulang ke rumah sambil menangis dan langsung mengunci diri di kamar. Orang tuanya tampak bingung dengan perilaku putrinya yang biasanya ceria itu.
Setelah emosi si gadis mulai reda, dia menceritakan kepada ibunya bahwa di sekolah dia terus-menerus diejek oleh teman-teman sekelasnya karena tubuhnya yang sangat kurus dan pendek. Padahal, dia tidak sakit-sakitan. “Aku dipanggil ‘dada rata’,” tangisnya.
Ibunya memahami bahwa Adriana mulai menginjak masa-masa praremaja dan mulai menaruh perhatian lebih pada penampilannya. Apalagi, usia 10-12 tahun adalah masa-masa anak-anak mulai intens berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Jika di rumah kedua orang tua Adriana memandang biasa atau bisa menerima bentuk tubuh putrinya apa adanya, belum tentu orang-orang di luar lingkungan keluarga memiliki pandangan yang sama tentang tubuh gadis tersebut.
Apa yang terjadi pada Adriana mungkin juga terjadi pada banyak anak usia praremaja di Indonesia. Isubody image menjadi topik hangat yang banyak dihadapi oleh para orang tua yang memiliki anak pada usia praremaja.
Anak-anak yang baru mulai memasuki masa pubertas atau praremaja biasanya mulai banyak bergaul dengan teman-teman di sekolah dan orang lain di luar lingkungan keluarga. Pada masa-masa itulah cara pandangnya terhadap kehidupan bermasyarakat mulai terbentuk.
Lebih lanjut, cara pandang tersebut sangat dipengaruhi oleh citra dan rasa percaya diri. Itulah mengapa, penampilan fisik—seperti bentuk tubuh, warna kulit, dan tinggi badan—menjadi begitu penting bagi anak praremaja untuk bisa diterima oleh lingkungannya.
Psikolog remaja dan keluarga Sutji Sosrowardojo menjelaskan body imagemerupakan cara pandang seseorang terhadap tubuhnya. Termasuk apa yang diarasakan tentang bentuk dan ukuran tubuhnya, serta bagaimana dia membawakan dirinya.
“Body image ini terbentuk dari kenangan seseorang, pandangan dan asumsi masyarakat, serta sangat dipengaruhi oleh bagaimana orang lain—seperti keluarga, peer group, dan media—menilai dirinya,” jelasnya di sela-sela sebuah diskusi oleh FrieslandCampina di Jakarta.
Selain itu, kata Sutji, penampilan fisik dan presepsi anak pada usia praremaja terhadap bentuk tubuh mereka ternyata juga banyak dipengaruhi oleh bagaimana orang tua mereka menilai diri anaknya dan bentuk tubuhnya.
“Orang tua adalah panutan (role model). Anak-anak akan meyakini apa yang dipercayai orang tuanya. Orang tua yang kerap menilai dirinya dan orang lain dari bentuk dan ukuran tubuhnya, akan membentuk presepsi anak-anak tentang body image yang keliru.”
Sebenarnya, isu body image pada anak sangat berkaitan dengan perubahan fisik mereka dari periode anak ke remaja. Periode anak ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan, sedangkan remaja ditandai dengan pertumbuhan organ seksual sekunder dan reproduksi.
Nah, masa-masa peralihan dari anak-anak menuju remaja itu dikenal dengan istilah pubertas. Setiap individu pasti mengalami sekuen pubertas yang sama. Namun, perubahan bentuk tubuh dan kematangan seksual tidak selalu sejalan dengan kematangan psikososial anak.
Menurut dokter spesialis anak dan pediatri sosial Bernie Endyarni Medise, ketidakselarasan itulah yang seringkali menjadi penyebab masalah body imageyang keliru pada seorang anak yang mulai beranjak remaja.
“Keberadaan orang tua dalam mendampingi anak-anak selama masa pubertas sangatlah penting. Ortu dapat membantu anak memahami perubahan fisik yang terjadi pada dirinya dan mengikis body image yang negatif dengan menekankan pada pentingnya tubuh yang proporsional,” tuturnya.
Bernie menjelaskan asupan gizi yang seimbang dengan membiasakan anak memilih makanan yang sehat dan bergizi, serta minum susu, akan membantu menyiapkan energi yang dibutuhkan anak untuk belajar dan beraktivitas.
“Kepedulian orang tua [dalam] menekankan gaya hidup yang aktif dan sehat pada anak termasuk cukup istirahat, berperan besar dalam membentuk generasi penerus bangsa yang sehat, kuat, dan berkualitas,” lanjutnya.
HIDUP AKTIF
Mulai maraknya isu body image di kalangan anak usia praremaja Indonesia belakangan ini turut mendorong munculnya gerakan-gerakan untuk meningkatkan gaya hidup aktif dan sehat pada anak-anak.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh SEANUTS mengukur hubungan antara kebiasaan makan makanan bergizi, minum susu, dan faktor sosial ekonomi pada anak usia 6 bulan—12 tahun. Hasilnya, ternyata 71% anak di Indonesia tidak minum susu.
Head of Corporate Affairs PT Frisian Flag Indonesia Andrew F. Saputro mengatakan jika dikategorikan berdasarkan umur, ternyata presentasi anak yang tidak minum susu di Indonesia semakin bertambah seiring dengan penambahan usia mereka.
“Itulah sebabnya kami meyakini bahwa pola makan yang baik, asupan gizi yang cukup, dan olahraga yang rutin akan sangat memengaruhi tumbuh kembang anak. Tumbuh kembang yang tidak optimal akan mengerucutkan isu body imagetersebut,” ujarnya.
Menurutnya, solusi mengatasi isu body image harus dimulai pada mengubah kebiasaan keluarga untuk memenuhi asupan gizi anak-anak agar mereka dapat menempuh pertumbuhan yang lebih berkualitas, dan memiliki berat badan dan bentuk tubuh normal.