Bisnis.com, JAKARTA - Human Immunodeficiency Virus (HIV) bisa jadi adalah penyakit yang paling ditakuti di dunia. Perang melawan penyakit mematikan tersebut terus digencarkan di seluruh negara, termasuk di Indonesia.
Sayangnya, Indonesia tercatat masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain dalam hal penanganan penderita HIV. Hal itu tercermin dari rendahnya cakupan antiretroviral (ART) yang berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penderita HIV dalam 10 tahun terakhir.
Sebuah data mengejutkan dilansir di Jakarta oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) University of Washington belum lama ini. Data itu menunjukkan hanya sebagian kecil dari 440.000 penduduk Indonesia penderita HIV yang mendapat terapi ART.
ART sendiri merupakan jenis terapi yang memperlambat pertumbuhan penyakit ganas tersebut. Sejalan dengan itu, jumlah penderita infeksi HIV baru di Tanah Air tercatat terus meningkat satu dasawarsa terakhir.
Tidak meratanya distribusi ART terhadap penderita HIV di Indonesia sangat kontras dengan upaya mayoritas negara dunia dalam memerangi tantangan untuk mengakhiri epidemi AIDS sebelum 2030, sebagaimana tercatat dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Di luar negeri, mayoritas negara justru mencatatkan penurunan kematian akibat AIDS. Namun, adanya laporan peningkatan infeksi HIV baru di beberapa negara termasuk Indonesia bisa menimbulkan ancaman kekacauan dalam upaya memberantas epidemi AIDS global.
“Jika kecenderungan infeksi baru meningkat terus-menerus, ini akan menjadi tantangan signifikan dalam mencapai target SDGs PBB agar dunia bisa menyaksikan berakhirnya AIDS dalam waktu kurang dari 15 tahun,” papar Direktur IHME Christopher Murray.
Sebuah penelitian berjudul The Lancet HIV yang dilansir oleh Global Burden Disease menemukan setidaknya 74 negara mengalami peningkatan jumlah standar usia infeksi baru selama periode 2005—2015.
Termasuk di antara daftar negara tersebut a.l. Indonesia, Mesir, Pakistan, Kenya, Filipina, Kamboja, Meksiko, dan Rusia.
Penelitian yang dilansir di International AIDS Conference di Durban, Afrika Selatan tersebut juga memaparkan fakta bahwa meskipun jumlah global kasus HIV baru terus menurun, kecepatan penurunannya ternyata luar biasa melambat.
Infeksi baru HIV secara global hanya menurun rata-rata 0,7% per tahun selama periode 2005—2015. Padahal selama rentang waktu 1997—2005, rata-rata laju penurunan infeksi HIV baru mencapai 2,7% tahun.
“Semua orang di bidang kesehatan masyarakat; mulai dari peneliti, pembuat kebijakan, praktisi, perusahaan farmasi, advokat, dan lainnya harus memahami bahwa meski semakin banyak orang yang hidup dengan HIV, kita tidak bisa mengakhiri AIDS tanpa menghentikan infeksi baru,” imbuh Christopher.
Terburuk di Asean
Di Indonesia sendiri, lanjutnya, laju infeksi HIV baru meningkat lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Sepanjang 10 tahun terakhir, kasus HIV baru di Tanah Air tumbuh rata-rata 3,2% per tahun.
Padahal, Malaysia, Thailand, dan Vietnam justru mencatatkan penurunan. Pada saat bersamaan, cakupan ART di Indonesia hanya sejumlah 11,7%, yang berarti Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang paling sedikit mendapatkan terapi ART.
“Hanya ada sedikit negara yang memiliki cakupan ART lebih rendah dari Indonesia, yaitu; Afganistan, Pakistan, dan Somalia. Kombinasi antara jumlah infeksi baru yang tinggi dan cakupan ART rendah di Indonesia ini bisa berubah menjadi mematikan,” kata Christopher.
Untuk diketahui, HIV/AIDS telah membunuh 18.560 penduduk Indonesia tahun lalu. Angka itu melesat hampir enam kali lipat sejak 2005. Adapun, jumlah orang yang hidup dengan HIV di Indonesia meningkat dari 146.560 menjadi 440.510 pada kurun waktu yang sama.
Dokter Soewarta Kosendari dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menilai penyebaran ART seharusnya lebih diarahkan ke daerah yang teridentifikasi sebagai kantong prevalensi HIV/AIDS tinggi, seperti Indonesia Timur.
Dia menambahkan percepatan penyebaran ART harus diprioritaskan ke kelompok-kelompok rentan dan berisiko tinggi terserang HIV seperti homoseksual, transgender, penggunaIVDrug, pekerja seks, dan lingkungan penjara.
“Di samping itu, komorbitas antara HIV dan tuberkulosa perlu sekali mendapat perhatian agar dapat dicegah, karena prevalensi tuberkulosa sangat tinggi dan merupakan salah satu penyebab utama kematian,” jelas Soewarta.
Sementara itu Direktur Eksekutif/pendiri UNAIDS Peter Piot berpendapat fakta penanganan HIV di Indonesia menunjukkan bahwa pandemi AIDS belum berakhir sama sekali, dan masih menjadi ancaman kesehatan terbesar saat ini.
“Jumlah tinggi yang terus bertambah sebanyak lebih dari 2 juta infeksi baru menunjukkan kegagalan kolektif yang harus diatasi melalui upaya pencegahan yang intensif dan investasi dalam riset vaksin HIV secara berkesinambungan,” ujarnya.
Di tingkat global, HIV masih menjadi momok dunia. IHME memprediksi ada sekitar 39 juta warga dunia yang hidup dengan HIV pada 2015, naik dari hanya 28 juta jiwa pada 2000. Tahun lalu, pengguna ART tercatat 41%, naik dari hanya 2% pada 2000.
Associate Professor IHME, Haidong Wang, mengatakan terapi antiretroviral pada dasarnya berupaya untuk membuat hidup penderita HIV lebih panjang. Pada 2020, IHME membuat sasaran ambisius yang dinamai ’90-90-90’.
Artinya, 90% orang yang hidup dengan HIV mengetahui status penyakit mereka, 90% orang yang didiagnosis mengidap HIV mendapatkan terapi ART, serta 90% orang yang mendapatkan terapi ART mengalami penekanan virus.
“Penelitian kami merupakan kunci untuk memperkuat tanggung jawab dalam memastikan bahwa janji-janji yang dibuat oleh para politikus dan pembuat kebijakan sehubungan dengan target HIV tertentu akan diwujudkan,” ujarnya.
Apapun tantangan dan permasalahannya, HIV membutuhkan upaya yang sangat ekstra untuk diperangi. Dibutuhkan riset dan inovasi tanpa henti untuk memberantas penyakit yang paling ditakuti di dunia tersebut. Praktis, biaya yang dibutuhkan pun tidak sedikit.
Pendanaan global untuk HIV/AIDS pada 2013 mencapai US$11,2 miliar, tapi pada tahun lalu jumlahnya menurun menjadi US$10,8 miliar. Biaya yang mahal dan sulitnya menekan laju pertumbuhan infeksi baru akan membuat cita-cita SDGs untuk membasmi AIDS pada 2030 semakin penuh tantangan. Lalu, bisakah target itu dicapai di Indonesia?