Setahun belakangan, mulai banyak ibu muda yang mempromosikan gerakan memompa (pumping) air susu ibu (ASI) untuk buah hatinya. Di media sosial, mereka ramai-ramai memamerkan hasil perahannya yang disimpan di dalam kantong-kantong plastik kecil.
Gerakan tersebut sebenarnya menunjukkan betapa perhatian ibu terhadap pentingnya ASI eksklusif pada bayi telah semakin meningkat. Meskipun tidak menyusui langsung, mungkin karena kesibukan bekerja, setidaknya para ibu muda itu paham pentingnya ASI bagi anaknya.
Upaya mengakomodasi hak anak untuk memperoleh ASI juga didukung pemerintah melalui terbitnya peraturan penyediaan ruang laktasi di tempat-tempat kerja. Di banyak daerah di Tanah Air pun, perda-perda seputar gerakan ASI eksklusif telah dilegalisasi.
Namun, gerakan-gerakan promosi ASI eksklusif tersebut tidak serta-merta mengikis kisah-kisah tragis anak-anak Indonesia yang kehilangan periode emas awal kehidupannya akibat kurangnya akses terhadap air susu ibu.
Salah satu pemicunya adalah kesenjangan penetapan peraturan perundang-undangan untuk melindungi hak pemberian ASI bagi ibu dan anak. Problema tersebut layak menjadi catatan kaki bagi pemerintah dalam rangka menyambut pekan ASI sedunia pada 1-7 Agustus.
Sejak 2002, United Nations Children’s Emergency Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) telah mencanangkan pekan pertama Agustus sebagai pekan ASI internasional.
Namun, semangat itu belum cukup menolong banyak anak Indonesia dari ancaman gizi buruk dan kematian akibat tidak memperoleh ASI eksklusif. PBB mencatat dari 5 juta anak yang lahir setiap tahun di Indonesia, lebih dari 50% di antaranya tidak mendapat ASI.
Kepala Gizi UNICEF Indonesia Harriet Torlesse dalam sebuah kesempatan belum lama ini menjelaskan setelah ditelisik, salah satu penyebab masalah tersebut adalah kesenjangan dalam perundang-undangan nasional seputar ASI.
“Memang ada peningkatan signifikan dalam angka menyusui di Indonesia. Namun, masih ada jutaan bayi yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan awal kehidupan yang baik karena ortunya menerima informasi tidak tetap tentang apa yang terbaik bagi anak-anaknya.”
Padahal, Kementerian Kesehatan telah menggaungkan rekomendasi untuk menyusui bayi segera setelah lahir dan tidak memberinya makanan apapun selain ASI selama enam bulan pertama kehidupannya. Tidak air, tidak juga makanan lain. Hanya ASI eksklusif.
ASI adalah satu-satunya makanan terideal untuk bayi, karena aman, bersih, ramah lingkungan, dan mengandung antibodi yang melindungi anak dari berbagai penyakit umum. Anak yang diberi ASI optimal terbukti cenderung menunjukkan kecerdasan yang lebih baik.
Anak yang menerima ASI secara optimal juga cenderung terhindar dari masalah obesitas dan diabetes di kemudian hari. Sebaliknya, ibu yang menyusui juga bisa terhindar dari risiko kanker payudara dan ovarium.
Dari usia 6 bulan hingga 2 tahun, ASI sebaiknya terus diberikan bersamaan dengan makanan pendamping yang aman dan bergizi. Namun, pada kenyataannya hal tersebut tidak banyak dipraktikkan oleh ibu-ibu di Tanah Air.
Pemerintah mencatat 96% perempuan Indonesia menyusui anaknya. Namun, hanya 42% di antaranya yang memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama usia buah hatinya. Lalu, hanya 55% yang masih melanjutkan memberi ASI hingga putranya mendekati 2 tahun.
IKLAN SUSU
Sebuah laporan lain yang dilansir WHO dan UNICEF menyebutkan bahwa promosi dan pariwara susu formula/susu pertumbuhan untuk anak berusia kurang dari 3 tahun juga menjadi pelatuk keengganan para ibu memberikan ASI eksklusif.
Berdasarkan laporan tersebut, International Baby Food Action Network (IBFAN) lantas mendesak pemerintah menetapkan perundang-undangan nasional dan melindungi hak pemberian ASI dengan melarang promosi dan iklan produk-produk tersebut.
Nah, dari total 149 negara yang diteliti dalam laporan itu, Indonesia adalah salah satu dari 135 negara yang sebenarnya sudah memiliki payung hukum terkait kode pemasaran internasional pengganti ASI.
Indonesia juga telah memproduksi berbagai resolusi kebijakan yang diadopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia. Sayangnya, undang-undang yang berlaku di Tanah Air saat ini hanya berkutat soal aspek perlindungan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan awal bayi.
“Seharusnya, kita melanjutkan upaya untuk meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif. Kita juga harus melindungi, mempromosikan, dan mendukung gerakan pemberian ASI di Indonesia sampai anak berusia minimal 2 tahun,” tegas Harriet.
Menurutnya, pemasaran produk pengganti ASI yang tidak tepat akan mengurangi minat pemberian ASI di seluruh dunia. Peraturan di Indonesia saat sudah ini melarang produsen untuk mengiklankan susu formula untuk bayi di bawah 6 bulan di fasilitas kesehatan.
Fasilitas dan tenaga medis juga dilarang pemerintah untuk menjual, memberikan, atau mempromosikan susu formula untuk bayi. Selain itu, terdapat pula berbagai larangan dan pembatasan pada label dan iklan produk susu untuk bayi di bawah 1 tahun.
Meskipun telah ada peraturan semacam itu, sebuah penelitian tetap mengungkapkan ada 1.000 insiden ketidakpatuhan berbagai produsen dan distributor susu formula di Indonesia terhadap peraturan kode internasional pemasaran makanan pengganti ASI.
“Ini sangat mengganggu karena informasi yang salah dan menyesatkan melalui iklan dan promosi oleh perusahaan susu bayi dan peritel membingungkan orang tua dan menurunkan percaya diri para ibu untuk menyusui anaknya,” kata Harriet.
Namun, memerangi promosi menggiurkan dari berbagai produk susu formula juga bukan perkara mudah. Bisnis produk pengganti ASI di Indonesia adalah sebuah bisnis raksasa yang nilai penjualannya mencapai Rp25,8 triliun tahun ini.
Padahal, jika setiap anak disusui dengan ASI sesuai dengan rekomendasi Kementerian Kesehatan, penelitian dari UNICEF, Alive and Thrive, dan Universitas Padjajaran memprediksi Indonesia dapat menghemat setidaknya Rp20 triliun/tahun untuk biaya perawatan kesehatan dan upah.
Selain itu, peningkatan pemberian ASI bisa menyelamatkan 5.377 nyawa anak di Tanah Air dan menghemat Rp3 triliun untuk biaya kesehatan setiap tahun dengan mencegah penyakit umum pada anak seperti diare.
Tidak hanya itu, mendorong pemberian ASI mampu menghemat Rp17 triliun untuk upah setiap tahun, karena adanya perbaikan dalam kemampuan kognitif dan peningkatan pendapatan di kemudian hari.
“Agar bisa sejalan dengan rekomendasi Kemenkes tentang menyusui, ruang lingkung perundang-undangan harus diperkuat, mencakup soal promosi dan iklan semua produk susu yang secara khusus dipasarkan sebagai asupan anak sampai usia 3 tahun,” imbuh Harriet.
Dari tinjauan psikologis, Psikolog Anak dan Keluarga LPT UI Mira D. Amir berpendapat banyak orang tua yang beralih dari ASI ke susu formula karena berangan-angan memiliki ‘anak super’ sebagaimana tergambar dalam iklan atau pariwara susu untuk bayi dan anak.
Menurutnya, bukan hal salah bila orang tua ingin memiliki ‘anak super’. Sebab terkadang, mereka merasa tidak cukup hanya memberikan air susu ibu. Sayangnya, pola pikir tersebut lama-kelamaan menggantikan kontak fisik yang biasa terjadi saat ibu menyusui anaknya.
“Itu bahaya sekali, kalau sampai menggantikan kontak fisik selama periode tumbuh kembang anak. Misalnya, berpikir ‘ah tidak apa-apa minum ASI atau susu dari botol terus,toh yang penting bayinya dapat asupan’,” ujarnya.
Apapun yang terjadi, lanjutnya, memberikan ASI kepada anak adalah sebuah investasi untuk masa depannya. Selain itu, memberikan ASI juga memperkuat bonding atau kedekatan antara buah hati dengan ibundanya.
Kedekatan seorang anak terbangun dari emosi dan kelekatan fisik dengan orang tuanya. Dan itu tidak bisa dibohongi atau digantikan. Jadi, tidak cukup hanya dengan susu formula atau memberikan ASI ala kadarnya. Mulai sekarang, orang tua harus menyadari hal itu.