Bisnis.com, JAKARTA - Mayoritas masyarakat Indonesi ternyata kehilangan kepercayaan diri mereka dalam hal kesehatan dan kesejahteraan akibat faktor finansial.
Hal itu terungkap dalam Survei Skor Kesejahteraan 360° di Indonesia yang dilansir PT Asuransi Cigna (Cigna Indonesia) pada Selasa (29/8/2017).
Skor kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia turun cukup signifikan pada 2016, meskipun masih berada di batas rata-rata skor internasional.
Dari 13 negara yang disurvei, Indonesia berada di posisi ke-6 dengan skor 62,8; sedikit di bawah Uni Emirat Arab (63,1), tetapi lebih tinggi dibandingkan Inggris (60,8), Singapura (59,4), dan Hong Kong (58,6).
Survei Skor Kesejahteraan 360° merupakan survei tahunan yang diadakan oleh Cigna untuk membantu masyarakat di negara tempat Cigna beroperasi memahami persepsi mereka sendiri mengenai kesehatan dan kesejahteraan. Skor ini dinilai berdasarkan 5 pilar utama, yakni fisik, finansial, pekerjaan, keluarga dan sosial.
“Survei Skor Kesejahteraan 360° sudah dua kali dilakukan di Indonesia. Kami melakukannya sebagai upaya menjadi perusahaan yang berfokus kepada nasabah, serta untuk melihat persepsi masyarakat Indonesia secara keseluruhan mengenai kesehatan dan kesejahteraan,” ujar Herlin Sutanto, Presiden Direktur Cigna Indonesia dalam siaran pers yang dilansir pada hari yang sama.
Dia menjelaskan misi Cigna adalah membantu orang-orang meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan rasa aman mereka. Untuk mewujudkannya, Cigna merasa perlu untuk terus memperbaharui pengetahuan mengenai hal-hal yang bermakna bagi masyarakat Indonesia, dan apa yang menghalangi mereka dalam meraih impian hidup.
"Menurut survei ini, persepsi masyarakat Indonesia terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka turun cukup signifikan karena faktor finansial.”
Sejak survei ini dilakukan pertama kali di Indonesia pada 2015, kondisi keuangan masih menjadi tantangan utama bagi masyarakat Indonesia.
Skor finansial masih menempati urutan terbawah dibandingkan aspek kesejahteraan lainnya seperti pekerjaan dan kesejahteraan sosial.
Tantangan inilah yang kemudian menjadi alasan utama mengapa mayoritas responden semakin tidak percaya diri dalam menjamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga mereka.
Survei ini menunjukkan bahwa hanya 24% responden yang bisa memenuhi kebutuhan kesehatan keluarga mereka, dan hanya 21% yang bisa membantu kondisi keuangan orang tua mereka.
Selain itu, meskipun jumlah masyarakat usia produktif di Indonesia cukup besar, banyak di antara mereka yang terjebak dalam kondisi ‘generasi sandwich’.
Mitos yang awam di kalangan masyarakat Indonesia adalah ‘banyak anak, banyak rezeki’, sebuah anggapan yang memberikan asumsi bahwa, begitu memasuki usia produktif, anak-anak harus menyokong hidup orang tua mereka secara finansial.
Sayangnya, saat mereka melakukan hal tersebut, mereka juga tetap harus membiayai hidup keluarga mereka sendiri. Hal inilah yang menyebabkan mereka terjebak di antara dua generasi.
“Masyarakat Indonesia khawatir terhadap kondisi keuangan mereka sendiri karena mereka mungkin tidak bisa menjamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga mereka; dan ketika kita berbicara tentang keluarga,
itu bisa berarti anak-anak mereka dan orang tua mereka,” ujar Ben Furneaux, Chief Marketing Officer Cigna Indonesia.
Tahun lalu, 49% responden merasa yakin mereka bisa menjamin kesehatan dan kesejahteraan orang tua mereka. Tahun ini, jumlahnya hanya 32%. Tahun lalu, ada 63% responden yang yakin bahwa mereka bisa menjamin kesehatan dan kesejahteraan anak-anak mereka. Tahun ini, jumlahnya turun hingga 44% responden.
Ketika masyarakat Indonesia disibukkan dengan segudang tanggung jawab dalam mengurus dua generasi keluarga, mereka kehilangan waktu untuk diri mereka sendiri. Hanya 37% masyarakat Indonesia yang cukup tidur setiap malam –turun dari tahun lalu yang sebanyak 48%.
Lalu, hanya 24% masyarakat Indonesia yang bisa berolah raga dengan teratur untuk menjaga kesehatan mereka. “Tidur nyenyak dan olah raga rutin merupakan dua faktor penting bagi kita untuk bisa hidup sehat,” ujar Ben.
“Namun dengan begitu padatnya tugas dan tanggung jawab, masyarakat Indonesia tidak lagi memiliki waktu untuk memikirkan kesejahteraan diri mereka sendiri. Sayangnya, tubuh dan fisik yang letih merupakan sarang empuk untuk berbagai macam penyakit.”
Meskipun memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam menyokong kehidupan orang-orang yang mereka cintai, pada kenyataannya banyak masyarakat Indonesia yang tidak punya cukup waktu untuk keluarga.
Menurut hasil survei, lebih dari setengah responden tidak puas dengan waktu yang mereka habiskan untuk keluarga karena banyaknya tantangan di dunia pekerjaan. Hampir 90% responden merasa jam kerja mereka tidak wajar, dan hanya 2 dari 10 responden yang memiliki hubungan yang baik dengan atasan mereka.
“Lalu, meskipun pengorbanan mereka begitu besar, ternyata mereka juga tidak memiliki kepastian di lingkungan kerja. Hanya 12% responden yang mereka pekerjaan mereka merupakan pekerjaan yang aman dan stabil secara ekonomi,” tambah Ben.
Tantangan keuangan, fokus yang terpecah, dan ketidakmampuan mereka menjamin kesejahteraan keluarga mereka adalah permasalahan yang kemudian menciptakan rentetan dampak di kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan demikian besarnya beban yang mereka tanggung, masyarakat Indonesia jarang memikirkan target jangka panjang mereka, termasuk pensiun. Hal ini juga disebabkan karena persepsi ‘tua’ dari masyarakat Indonesia yang terus meningkat seiring bertambahnya usia.
Survei ini menunjukkan hanya 21% masyarakat Indonesia yang memiliki dana yang cukup untuk pensiun, angka yang sama dengan tahun sebelumnya.
“Dengan menunda persiapan pensiun, masyarakat Indonesia banyak yang ‘terjebak usia’ dan tidak siap secara finansial,” ujar Ben.
“Itulah alasannya mengapa masyarakat Indonesia ingin terus bekerja bahkan setelah usia pensiun—bukan hanya karena mereka ingin tetap aktif; tapi karena mereka memang butuh uang. Memang kekhawatiran utama mereka adalah kenaikan biaya medis—tapi mereka juga takut menjadi beban keluarga ketika mereka sudah tua, dan tidak cukup uang untuk menjaga gaya hidup. Selain itu, mereka juga khawatir akan kenaikan biaya hidup dan tidak bisa memberikan kontribusi untuk keluarga mereka.”