Bisnis.com, JAKARTA -- Pernahkah Anda merasakan jantung tiba-tiba berdetak yang tiba-tiba cepat lalu tiba-tiba normal kembali?Jangan anggap enteng.
Umumnya detak jantung normal adalah berdetak dengan irama yang sama dan berdetak sebanyak 6 hingga 8 kali per 10 detik. Lebih dari itu Anda perlu waspada, bisa jadi itu gejala aritmia.
Aritmia digambarkan dengan denyut nadi yang awalnya normal kemudian tiba-tiba cepat, lalu tiba-tiba kembali normal. Atau denyut jantung yang tiba-tiba menghentak, denyut yang terkadang berhenti 1 sampai 2 detik, hingga denyut jantung yang berdetak sangat cepat.
Pernahkah Anda inisiatif untuk mengukur denyut nadi dan merasakan irama jantung sendiri? Jika belum, tidak ada salahnya melakukan langkah tersebut untuk mengetahui normal tidaknya irama jantung secara mandiri.
Dokter spesial jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Harapan Kita Dicky Armein Hanafy mengatakan, sangat penting untuk deteksi dini irama jantung secara mandiri. Pemeriksaan juga dapat dilakukan secara mudah dengan meraba nadi sendiri atau biasa disebut menari.
Untuk mengetahui jumlah denyut dan irama denyut bisa dilakukan dengan cara meraba nadi di bawah pergelangan tangan dengan tiga jari. Posisi tepat untuk merasakan nadi berada di bawah pergelangan tangan yang lebih dekat dengan ibu jari.
Menurut dokter lulusan Universitas Indonesia dan Westfalische Wilhelms-Universität Münster ini, memeriksa denyut nadi per 1 menit adalah cara paling akurat yang dilakukan. Sebaiknya hal tersebut dilakukan pada pagi hari.
“Normalnya denyut per menit adalah 60-90. Namun, bila setelah dihitung denyut hanya 50 kali per menit, asalkan tidak ada keluhan tidak ada masalah,” jelasnya.
Hal tersebut sangat membantu untuk memberikan diagnosis lebih dini sehingga akan mempercepat penanggulangan. Secara garis besar, aritmia terdiri dari dua kelompok besar, yaitu bradiaritmia atau laju jantung terlalu lambat (kurang dari 60 kali per menit) dan takiaritmia yakni laju jantung yang terlalu cepat atau melebihi dari 100 kpm.
Berdebar adalah gejala paling umum aritmia. Namun, Dicky mengatakan gejala aritmia cukup luas mulai dari berdebar, keliyengan, pingsan, stroke, bahkan kematian mendadak.
“Memang setiap pasien memiliki keluhan berbeda. Pasien paling banyak mengeluh cepat lelah. Berdebar dan cepat lelah,” kata dokter yang juga berpraktik di RS Grha Kedoya dan RSU Bunda Jakarta.
Apabila telah diagnosis aritmia, pada umumnya pasien harus terapi untuk mencegah kondisi yang lebih buruk.
Untuk diagnosis aritmia dapat dilakukan dengan sinyal listrik jantung yang biasa disebut elektrokardiogram (EKG). Salah satu kasus aritmia yang sering terjadi adalah fibrilasi atrium (FA). Tidak jarang, stroke merupakan manifestasi dari FA.
Sayangnya, lanjut Dicky, pengetahuan masyarakat dan tenaga kesehatan di Indonesia masih tergolong kurang soal aritmia. Penyakit tersebut masih kalah populer dengan jantung koroner atau sindrom gagal jantung. “Pengetahuan tentang aritmia masih sangat rendah,” katanya.
Terlebih lagi, sumber daya manusia atau dokter sub-spesialis aritmia juga masih sangat minim di Indonesia. Hingga saat ini, hanya sekitar 22 dokter spesialis yang menangani aritmia. Padahal, ada lebih dari 1.000 orang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah.
Jumlah tenaga medis spesialis aritmia memang mulai banyak, tetapi masih perlu dikembangkan lagi terutama di daerah. Bukan hanya soal jumlah dokter sub-spesialis aritmia, tapi juga fasilitas medis sebagai pendukung.