Kelainan pada jantung yang berkembang sebelum kelahiran, atau penyakit jantung bawaan, patut diwaspadai. Di Indonesia, ada sekitar 150 kasus penyakit jantung bawaan per tahun.
Kelainan ini mulai terjadi saat masih janin di dalam rahim ibunya. Biasanya, pembentukan jantung berlangsung pada trimester pertama kehamilan, atau 3 bulan pertama kehamilan.
“Kami biasanya mewanti-wanti kepada sang ibu pada 3 bulan pertama kehamilan jangan makan obat sembarangan dan terekspos macam-macam,” ujar Oktavia Lilyasari, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Harapan Kita.
Pada trimester pertama, kata Oktavia, terjadi perkembangan organ, terutama jantung. Ibarat sedang membangun rumah dan bila tidak berhati-hati membangunnya, ketika hujan bisa saja atap menjadi bocor.
Apa penyebabnya? Menurut dia, penyebab penyakit jantung bawaan (PJB) bisa bermacam-macam dan sulit untuk diketahui secara pasti. Namun, faktor risiko pertama adalah dari ibu. Jika sang ibu mengidap diabetes, maka si anak 20% berisiko mengalami penyakit jantung bawaan.
Kedua adalah faktor genetik. Apabila orang tua, adik atau kakak menderita penyakit jantung bawaan, maka janin yang dikandung berisiko lebih besar. Apalagi bila janin kembar, hampir dipastikan keduanya sama-sama berisiko mengalami penyakit jantung bawaan.
Risiko penyakit jantung bawaan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti karena polusi atau tinggal di suatu daerah dengan kondisi udara yang buruk.
Penyebab lain adalah sindrom atau kumpulan gejala. Ada sindrom yang diakibatkan kelainan kromosom dan yang paling sering terjadi adalah apa yang disebut dengan Trisomy 21 (down syndrom), yakni kelainan genetik kromosom 21 yang menyebabkan keterlambatan perkembangan dan intelektual. “Ini biasanya dari wajahnya saja kita bisa tahu bahwa si anak memiliki down syndrom.”
Kelainan kromosom yang lain adalah Trisomy 18 (syndrom edward). Kelainan ini menyebabkan perkembangan sangat lambat dan ini merupakan Trisomy yang mematikan.
Faktor risiko berikutnya adalah infeksi yang dialami sang ibu dan yang paling sering adalah toksoplasma dan rubela. Toksoplasma atau toxoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit toxoplasma gondil. Sementara itu rubela adalah suatu infeksi virus menular ditandai dengan ruam merah yang khas.
Risiko penyakit jantung bawaan juga diepngaruhi oleh gaya hidup, seperti ibu yang suka merokok, atau minum alkohol.
KENDALA PENANGANAN
Penyakit jantung bawaan saat ini masih menjadi salah satu sorotan para dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Tanah Air karena masih menghadapi berbagai kendala dalam penata laksanaannya.
“Masalah besar bila mengalami penyakit jantung bawaan di Indonesia karena kebanyakan masyarakat berasal dari sosial ekonomi yang lemah,” ujar dokter Okta.
Selain ekonomi, faktor pendidikan yang rendah membuat masyarakat kurang mengerti. Alhasil, ketika anak mengalami gejala membiru, yang sering terpikir adalah karena kesambet, padahal itu adalah tanda penyakit jantung bawaan.
Ada juga ibu yang meskipun sudah melihat gejala PJB pada anaknya sejak lahir tetapi tidak menindaklanjuti ke dokter, misalnya karena merasa kasihan anak masih bayi.
Soal akses ke fasilitas kesehatan juga menjadi masalah tersendiri. Dokter Okta menuturkan, Indonesia adalah negara kepulauan yang dipisahkan oleh laut dan kondisi ini sering menyulitkan masyarakat menjangkau fasilitas kesehatan yang memadai.
“Saya sering mendapat pasien dari Sumatra yang mengatakan jarak tempuh dari rumahnya ke bandara sampai lebih dari 10 jam,” ujarnya.
Selain itu, tata laksana penyakit jantung bawaan tidak dapat dikerjakan oleh setiap fasilitas kesehatan, kebanyakan dikirim ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Persoalan yang lain adalah tidak adanya asuransi kesehatan. Kalaupun ada, rata-rata asuransi kesehatan swasta tidak mau menanggung penyakit bawaan, sehingga keluarga penderitanya harus bayar sendiri. Saat ini BPJS Kesehatan menanggung biaya pengobatan penyakit bawaan.
Keterbatasan sarana dan prasarana juga jadi kendala, terutama bagi fasilitas kesehatan di daerah. Hanya faskes yang mengerjakan pelayanan jantung koroner yang bisa menangani penderita PJB yang biasanya harus dilakukan intervensi, baik bedah ataupun non-bedah.
Jikapun fasilitas ada, penanganan PJB harus dilakukan secara tim, yakni dokter bedah jantung, jantung intervensi, anastesi, dan lainnya.