Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah pakar kesehatan dan akademisi mendesak regulasi khusus untuk produk tembakau alternatif yang mengandung nikotin atau tembakau seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan. Hal itu mendesak dilakukan sebagai strategi konkrit untuk menurunkan prevalensi perokok di Indonesia.
Achmad Syawqie Yazid, Pembina Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) menjelaskan, berbagai kebijakan telah diambil untuk menurunkan jumlah perokok aktif di Indonesia, baik itu melalui regulasi, edukasi, maupun metode berhenti merokok, seperti layanan dan klinik konseling, metode cold turkey serta nicotine replacement therapy (koyo nikotin, permen karet nikotin, snuff, dan lain-lain). Namun, pada kenyataannya tingkat perokok di Indonesia tidak mengalami penurunan.
Menurut dia, permasalahan rokok di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah bersama, terutama upaya untuk mengurangi konsumsi merokok. Diperlukan cara yang lebih efektif sehingga masyarakat memiliki alternatif untuk mengatasi adiksi terhadap rokok.
Topik hangat tersebut menjadi pembahasan pada Diskusi Publik dengan tema Pengurangan Bahaya Tembakau dalam Perspektif Sains, Kebijakan, dan Regulasi” yang diselenggarakan oleh Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) dan Center for Healthcare Policy and Reform Studies (CHAPTERS) di Jakarta, Kamis.
“KABAR dan CHAPTERS memiliki komitmen yang sama dalam melihat permasalahan rokok di Indonesia, oleh karena itu inisiatif ini dijalankan untuk memberikan pemahaman secara holistik kepada pemangku kepentingan. Hal ini didukung dengan bukti ilmiah dan kebijakan pengurangan bahaya tembakau sebagai strategi untuk menurunkan prevalensi perokok di Indonesia,”jelas Syawqie.
Syawqie menambahkan kebijakan pengurangan bahaya tembakau yang dimaksud yakni dengan meregulasi produk tembakau alternatif yang mengandung nikotin atau tembakau seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan. Peraturan tentang produk tembakau alternatif tidak bisa disamakan dengan peraturan rokok mengingat dari sisi kesehatan, yang berdasarkan bukti ilmiah, jelas bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah.
Berdasarkan kajian ilmiah yang telah dilakukan di sejumlah negara, Indonesia perlu mengadopsi prinsip pengurangan bahaya bagi penggunaan produk tembakau. Di Inggris, pada 2012 jumlah perokok mencapai 19,3% dari total populasi dewasa dan kemudian menurun drastis hingga 14,9 % pada 2017 setelah menggunakan produk tembakau alternatif.
Selain itu, berdasarkan kajian ilmiah dari Georgetown University Medical yang bertajuk “Potential Deaths Averted in USA by Replacing Cigarettes with E-Cigarettes” dan dipublikasikan dalam Jurnal Tobacco Control menyatakan, diperkirakan sebanyak 6,6 juta orang di Amerika Serikat dapat terhindar dari kematian dini melalui penggunaan produk tembakau alternatif.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 dari Kementerian Kesehatan menunjukkan terdapat sekitar 68 juta jiwa perokok di Indonesia. Jika produk tembakau alternatif ini diterapkan di Indonesia, maka dapat dibayangkan jutaan jiwa yang dapat terhindar dari kandungan berbahaya yang ada di dalam rokok.
Data Riskesdas di atas juga mencatat Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok aktif terbesar di dunia dan prevalensi perokok di Indonesia memiliki tren yang cenderung meningkat dari 27% pada 1995 menjadi 33,8% pada tahun 2018. Tidak hanya itu, WHO Report on the Global Tobacco Epidemic 2017, menyebutkan prevalensi perokok di Indonesia pada pria sebesar 64,9% sedangkan wanita sebesar 2,1%. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia mengalami darurat rokok.
“Pemerintah seharusnya bergerak cepat untuk membuktikan lebih lanjut melalui kajian khusus dengan melibatkan peneliti terbaik di Indonesia. Jika hasilnya terbukti mendukung dapat menekan prevalensi perokok, Indonesia bisa menjadi acuan bagi negara lain dalam mengurangi jumlah perokok dan bahaya merokok melalui penggunaan produk tembakau alternatif,” kata Syawqie.
Lutfi Mardiansyah, Ketua dan Pendiri Center for Healthcare Policy and Reform Studies (CHAPTERS) melihat, seharusnya tidak ada keraguan dari pemerintah untuk menindaklanjuti penelitian yang sudah dilakukan oleh negara lain. Sejumlah langkah yang diambil untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia terbukti belum mencerminkan hasil yang signifikan.
“Dari sisi kesehatan, seharusnya produk tembakau alternatif dapat menjadi solusi untuk mengurangi risiko kesehatan, terutama mengurangi penyakit yang disebabkan oleh rokok. Perlu dukungan semua pihak agar tujuan untuk mengatasi permasalahan kesehatan akibat rokok dapat segera diatasi, salah satunya kebijakan yang kuat dari Pemerintah berdasarkan kajian ilmiah yang komprehensif,” kata Lutfi.
Tikki Pangestu, Visiting Professor Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore mengatakan, saat ini, sudah banyak penelitian ilmiah yang kuat, mutlak, dan jelas mengenai produk tembakau alternatif yang mendukung pengurangan bahaya tembakau sebagai manfaat bagi kesehatan masyarakat, khususnya dalam pengembangan sistem untuk mengonsumsi nikotin dengan bahaya yang lebih rendah.
Menurut Tikki, secara umum setidaknya terdapat dua hal yang menjadi kesimpulan berbagai penelitian ilmiah mengenai produk tembakau alternatif. Pertama, produk tembakau alternatif rata-rata 90% – 95% lebih rendah risiko dibandingkan rokok yang dibakar terkait jumlah bahan beracun yang terdeteksi. Kedua, produk tembakau alternatif dapat membantu perokok mengurangi ketergantungan terhadap produk tembakau, atau bahkan dapat berhenti merokok.
Pemerintah di setiap negara diharapkan dapat mengakomodir kepentingan khalayak luas dengan menyediakan akses informasi yang jelas dan akurat mengenai produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan.
“Dari sisi kebijakan, selain masyarakat menjadi lebih teredukasi dan memperoleh haknya sebagai konsumen, hal ini juga menjadi strategi untuk memastikan peningkatan kesehatan dan lingkungan yang lebih baik,” ujar Tikki.