Bisnis.com, JAKARTA - Kelaparan dan ketimpangan akses pangan baik di perdesaan maupun perkotaan menjadi isu global yang tak henti diperbincangkan. Di Indonesia, ada sekitar 19,4 juta orang menderita kurang gizi dan tidur dalam keadaan lapar.
Selain itu, 1 dari 3 anak Indonesia menderita stunting, kurang gizi dalam tahap akut yang menyebabkan kerdilnya tubuh anak. Angka Indeks kelaparan global (Global Hunger Index) Indonesia pun mencapai 21,9%, sedikit lebih tinggi di atas Laos.
Namun tahukah Anda, rata-rata setiap orang di Indonesia membuang 300 kg makanan setiap tahun, menjadikan negara ini urutan kedua pembuang makanan terbesar di dunia setelah Saudi Arabia.
Jumlah tersebut termasuk makanan-makanan yang tidak Anda selesaikan di meja makan di rumah atau restoran, sayur dan buah layu yang saban hari dilempar ke keranjang sampah baik di rumah maupun di pasar-pasar, atau bahan makanan yang tanggal kadaluarsanya masih hitungan bulan tetapi tak bisa dijual dengan alasan standardisasi produk.
Dari sekelumit data di atas, dapat ditarik benang merah bahwa ada celah yang sangat lebar antara angka kelaparan serta kurang gizi dan makanan yang terbuang. Lalu dengan jumlah sebanyak itu, kemana makanan-makanan terebut berakhir?
Makanan sisa yang terbuang, baik oleh industri atau rumah tangga akan menjadi sampah atau dikenal dengan istilah food waste. Jika tak dikelola dengan baik, sampah makanan akan berakhir di tempat pembuangan sampah dan lama kelamaan timbunannya menghasilkan gas methana yang berpotensi menyebabkan ledakan.
Hal itu seperti terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, 21 Februari 2005. Lebih dari 157 warga menjadi meninggal dalam ledakan besar tersebut dan 2 desa hilang tergulung longsoran sampah. Tanggal itu kemudian diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Faiza Fauziah, Head of Partnership and Program Development Waste4Change mengatakan, selain dampak lingkungan, pengelolaan food waste yang buruk juga memiliki dampak sosial.
Bisa dilihat dari angka kelaparan dan kurang gizi serta stunting yang masih tinggi. Adalah sebuah ironi bahwa negara pembuang makanan terbesar kedua di dunia, juga yang tertinggi angka kelaparan dan stunting-nya.
"Selama ini memang kita mengalami kejomplangan ekonomi, masih banyak kelaparan dan yang susah makan, di sisi lain banyak makanan yang mubazir. Kalau food waste dapat dikelola dengan baik, kita bisa mengurangi kelaparan," kata Faiza.
Waste4Change sendiri merupakan kewirausahaan sosial yang memberikan sokusi terhadap permasalahan sampah dengan prinsip perubahan perilaku dan pengelolaan. Sampah yang berasal dari gedung-gedung dan kawasan industri di Jakarta, Bekasi dan Tangerang dikelola dalam waste management service.
Sampah kering akan dibawa ke rumah pemilihan material, sedangkan sampah makanan dan organik akan didaur ulang menjadi pupuk dan kompos.
Faiza mengatakan, masyarakat Indonesia masih dalam tahap edukasi mengenai kesadaran pengelolaan dan minimalisasi food waste. Dibutuhkan kampanye dan aksi yang lebih nyata untuk menanggulangi persoalan ini. Menurut Faiza, upaya penanggulangan food waste sudah cukup masif di Indonesia, namun gerakannya masih sporadis.