Bisnis.com, JAKARTA– Dua film pendek dokumenter terbaru produksi Tanahkhir Films berjudul The Woven Path dan Perempuan Tana Humba mulai dirilis kepada publik.
Fllm yang disutradarai Lasja F. Susatyo ini mengangkat tema seputar perempuan, tradisi, dan budaya Sumba.
The Woven Path merupakan film dokumenter puitis tentang dua puisi bertema ibu yang ditulis dua penyair dari dua generasi berbeda, yakni Diana Timoria dan Umbu Landu Paranggi.
Sementara film dokumenter kedua ‘Perempuan Tana Humba’ bercerita tentang tradisi dan budaya di Sumba dan dampaknya terhadap perempuan. Masing-masing durasi film tersebut adalah 10 menit dan 30 menit.
Sang sutradara, Lasja F. Susatyo mengungkapkan bahwa film tersebut bercerita dalam tiga babak, yakni Marapu, Belis, dan Perkawinan. Pada babak Marapu, disajikan sebuah kisah mengenai rangkaian upacara atau ritual yang hingga saat ini masih kental dilakukan oleh masyarakat Sumba.
Babak Belis, atau dalam bahasa Sumba disebut mas kawin, menggambarkan sebuah tradisi perkawinan yang terjadi dan lebih dikenal sebagai sistem jual beli. Setelah pemberian belis pengantin perempuan menjadi hak dari keluarga pengantin laki-laki.
“Melalui babak ini kita akan melihat bagaimana pengaruh belis terhadap posisi perempuan Sumba dalam keluarga dan masyarakat,” tuturnya dalam acara konferensi pers Film Dokumenter ‘The Woven Path: Perempuan Tana Humba’ di Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat (10/5/2019).
Sementara itu, lanjutnya, babak Perkawinan merupakan babak yang menunjukkan bagaimana ritual perkawinan dijalankan di Sumba, dan dampaknya bagi peran perempuan dalam keluarga.
Para pendukung Film Dokumenter The Woven Path: Perempuan Tana Humba di Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat (10/5/2019)/ Bisnis-Eva Rianti
Lasja menjelaskan, film ini tak hanya menunjukkan keindahan alam Sumba ataupun kekentalan budaya dan tradisi masyarakat Sumba. Film ini juga membuka diskusi mengenai posisi perempuan di daerah Indonesia Timur tersebut.
“Saya ingin mengangkat tema perempuan dalam adat tradisi di Sumba [Timur] hari ini, terutama kaitannya dengan Belis [mahar] dan perkawinan yang kerap masih sangat memberatkan,” lanjutnya.
Bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, film yang diproduseri oleh Mandy Manhimin dan didanai grant Ford Foundation ini rencananya tidak akan ditayangkan di bioskop, melainkan disuguhkan ke berbagai sekolah di Indonesia.