Bisnis.com, JAKARTA – Masyarakat masih sering abai dan remeh akan kondisi kelebihan berat badan dan obesitas pada anak.Kegemukan pada anak dianggap lucu dan menggemaskan tanpa berpikir bahwa kondisi ini membahayakan kesehatannya.
Di Indonesia, menurut laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia, angka kejadian diabetes melitus pada anak usia 0--18 tahun mengalami peningkat 700 persen selama 10 tahun terakhir. Peningkatan kasus diabetes ini dinilai erat kaitannya dengan meningkatnya prevalensi penderita obesitas pada anak.
Dalam laporan terbarunya, Presiden Direktur PT Sun Life Financial Indonesia Elin Waty mengatakan bahwa kasus diabetes pada anak tidak dapat dianggap sepele. Oleh karena itu, persoalan kelebihan berat badan dan obesitas harus segera ditangani agar masa depan anak bebas dari penyakit. Menurutnya, angka kejadian diabetes pada anak terus meningkat karena salah kaprah pemahaman dalam masyarakat.
Berdasarkan laporan Sun Life terkait dengan tema Diabetes di Asia ternyata sebanyak 68% penduduk Indonesia menilai bahwa diabetes hanya terjadi karena faktor keturunan. Padahal penyakit ini adalah jenis penyakit gaya hidup yang sebetulnya bisa dicegah. Penerapan pola hidup sehat dan tepat adalah kunci untuk mengatasi diabetes pada anak.
“Sejak anak-anak, pola kebiasaan akan terbangun, termasuk kultur makan sehat serta melakukan aktivitas fisik rutin. Ketika pola hidup sehat terbentuk, kesempatan untuk mengurangi risiko obesitas dan diabetes tipe 2 makin besar,” ujar Elin. Menurutnya, keluarga dan sekolah adalah salah satu komunitas penting yang dapat memengaruhi pola hidup sehat yang dapat dilanjutkan anak hingga dewasa kelak.
JANGAN TERLAMBAT
Baca Juga Harga Emas Hari Ini |
---|
Dokter spesialis anak dan konselor laktasi Yovita Ananta, dari RS Pondok Indah Jakarta mengatakan bahwa cara paling mudah mendeteksi anak obesitas adalah dari pengukuran indeks massa tubuh (IMT).
Pada usia 2 tahun ke bawah, anak baru dikatakan kelebihan berat badan apabila IMT-nya lebih dari 2 standar deviasi. Jadi, jika IMT-nya di atas 3 standar deviasi, anak termasuk obesitas.
Untuk anak yang di atas 2 tahun, obesitas dinilai dari grafik IMT pada angka di atas P95.
Penyebab obesitas pada anak sebetulnya tidak jauh berbeda dengan orang dewasa, yakni kebanyakan asupan tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik. “Istilahnya input-nya lebih banyak dari pada output-nya,” kata Yovita.
Ketidakseimbangan jumlah kalori yang dibutuhkan dengan yang dikeluarkan menyebabkan anak mengalami obesitas. Tidak hanya itu, faktor genetik, psikososial, budaya, lingkungan juga memengaruhi.
“Sekarang ini anak-anak juga memiliki aktivitas yang pasif dengan gawainya dibandingkan dengan aktivitas yang aktif,” ujarnya. Anak juga terbiasa makan camilan sehingga mulai mengalami pertambahan berat badan.
Problemnya adalah masalah kegemukan ini dapat membentuk lingkaran siklus yang tak ada ujungnya. Hal ini bisa terjadi karena makin bertambahnya berat badan, anak akan makin malas bergerak. Asupan makanan tetap banyak, sementara tubuh malas bergerak akhirnya terjadi obesitas.
Dampak obesitas pada anak bukan hal sepele, karena dapat menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang seperti masalah saraf, masalah pernapasan, depresi, risiko asma, emboli paru, hipertensi paru, risiko kanker, diabetes melitus tipe 2, masalah reproduksi ketika dia dewasa nanti.
Bahkan pada usia belia mereka sudah mengalami hipertensi, kolesterol, dan penyakit jantung.
Untuk menangani obesitas pada anak perlu diperbaiki pola makan, aktivitas fisik, modifikasi perilaku, dan juga keterlibatan keluarga.
Soal pola makan, sebetulnya tidak harus dengan mengurangi jumlah makanan secara drastis. Yovita mengatakan anak tetap harus makan tiga kali dan makan camilan dua kali sehari. “Tetapi harus disesuaikan dengan kebutuhan kalori dengan cara mengurangi jumlah makanan sedikit-sedikit, dan diberikan target turun berat badan 0,5 kg per minggu,” ujarnya.
Dalam proses ini anak juga harus banyak minum air putih. Jenis makanan yang disediakan untuk anak sesuai dengan diet gizi seimbang dan tinggi serat.
Tentukan juga durasi makan misalnya 30 menit tiap makan. Target penurunan berat badan setidaknya sampai 20% di atas berat badan ideal sesuai umurnya. Setelah itu, tinggal dipertahankan saja berat badan anak tersebut.
Lingkungan juga harus netral dalam mendukung penurunan berat badan anak yang obesitas. Jangan memaksa anak untuk diet, sementara keluarga tidak mendukung. Seluruh anggota keluarga sebaiknya berpartisipasi dalam program diet dan mengubah perilaku makan dan aktivitas.
Aktivitas fisik dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan motorik seperti bersepeda, berenang, menari, karate, senam, dan lain-lain. Pastikan juga anak melakukan aktivitas harian seperti berjalan kaki, mengurangi penggunaan gawai, dan bermain di luar rumah.
Selain itu, upayakan juga agar guru dan teman sekolah dapat mendukung proses pengurangan berat badan pada anak. “Memuji bila anak berhasil, dan tidak mengejek anak yang gemuk,” tegasnya.
Pencegahan obesitas dapat dilakukan sejak dini dengan melakukan pola makan dan aktivitas fisik yang tepat sejak bayi. Pemberian ASI ekslusif dapat membantu mengatasi obesitas, karena bayi yang disusui ibunya lebih terkendali jumlah kalori yang dikonsumsinya dibandingkan dengan bayi yang minum dengan susu botol.
Bayi yang diberi ASI pada umumnya memiliki kadar lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang minum susu formula.
Selain itu, susu formula juga padat energi yang dapat merangsang sistem endokrin untuk mengeluarkan lebih banyak insulin dan growth factor, sehingga meningkatkan kadar lemak pada tubuh bayi tersebut.