Bisnis.com, JAKARTA - Matahari cukup menyengat hari itu. Sembari berteduh, seorang pria tua sibuk menyiapkan bumbu khusus untuk memasak gulai.
Segenggam daun dan bijih tanaman dicincang di atas talenan. Sebelum dimasukkan ke kuali besar, dia mulai meminta pendapat.
"Segini cukup ya?" katanya sembari memperlihatkan daun dan bijih ganja hasil cincangannya.
Setelah disepakati bersama, barulah bijih dan daun ganja itu dicampur bersama gulai.
Siang itu, sejumlah orang tengah mengadakan syukuran sederhana di pinggiran Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Makan besar disiapkan. Adalah menu kuah beulangong jadi hidangan utama.
Kuah beulangong kerap menjadi menu andalan pada sejumlah acara di masyarakat Aceh. Masakan ini diolah di dalam sebuah kuali atau belanga besar. Bahan utamanya adalah daging.
Kali ini, seekor kambing menjadi bahan utama Kuah beulangong. Sekitar satu jam lebih, masakan ini siap santap. Beberapa orang mengantre di dekat kuali.
"Anak-anak kuahnya sedikit saja ya," kata beberapa orang lainnya.
Saya turut hadir dan menikmati masakan berbahan ganja ini pada syukuran tiga tahun lalu itu.
Tanaman ganja di pegunungan Aceh Besar, 1 April 2016. JIBI/Bisnis- Abdul Hadi Firsawan
Bumbu Tambahan
Ganja kerap jadi bumbu tambahan untuk kuliner khas Aceh, khususnya di pinggiran kota. Dari seluruh bagian mariyuana ini, daun dan bijihnya sering dicampur ke masakan agar terasa kian gurih dan nikmat.
Meski menjadi perbincangan di luar Aceh, namun tak semua masyarakat melakukan hal serupa. Hanya sebagian saja. Lainnya memasak dengan bumbu biasa.
Bagi masyarakat yang menggunakan ganja, bijihnya acap kali ditambahkan pada menu masakan yang menggunakan daging sebagai bahan utama. Di Aceh, beberapa menu yang dapat ditabur penyedap ganja seperti kuah beulangong, sie itek (gulai daging bebek), dan kari kameng (kari kambing).
Kuliner khas Aceh berbahan daging itik sie itek./Istimewa
Era Kesultanan Aceh
Budayawan sekaligus sejarawan Aceh Tarmizi Abdul Hamid menyebut bijih ganja umum digunakan pada masakan dengan menggunakan daging sapi, kambing, ayam hingga bebek.
"Biasanya bijih ganja dapat membuat daging yang tadinya alot menjadi empuk kembali," katanya pada pekan pertama November 2019.
Sejarah ganja sudah tercatat sejak masa Kesultanan Aceh. Penjelasan ganja yang menjadi bumbu masakan ini tertuang dalam Kitab Tajol Mulok. Kitab itu ditulis pada masa Kesultanan Aceh sekitar abad Ke - 18 Masehi.
Pada penerapannya, tiap daerah punya cara masak berbeda saat menggunakan ganja. Sebagian mencampur bijih dengan daun kemudian dicincang. Lainnya memperlakukan bijih ganja layaknya teh celup.
Bijih ganja dibungkus dalam kain tipis. Saat memasak daging, bungkusan itu dicelupkan beberapa kali ke dalam gulai. Setelahnya diangkat kembali. Bijih ganja celup itu juga dapat digunakan beberapa kali di kemudian hari.
Dari seluruh bagian ganja, bijih memang umum dijadikan sebagai bumbu saat memasak daging. Namun, saat memasak masakan biasa, sebagian masyarakat cukup menggunakan daunnya saja.
Tanaman ganja di Aceh dimusnahkan. JIBI/Bisnis-Abdul Hadi Firsawan
6 Bulan Masa Emas
Masyarakat menghindari penggunaan bunga ganja sebagai bahan. Pasalnya bunga ganja dipercaya paling memabukkan dibandingkan bagian lainnya.
Takaran ganja dalam masakan juga diperhitungkan dengan cermat. Tidak sembarangan. Jika berlebih bukan tidak mungkin malah bikin mabuk.
Misalnya saat memasak kuah daging kambing, ganja ditakar menggunakan bungkus rokok. Tiap 8 kg - 10 kg daging kambing, peracik menggunakan ganja seukuran satu bungkus rokoh gudang garam atau surya.
Jika konversi dalam gram, diperkirakan berat ganja sekitar 300 - 400 gram untuk tiap 8 kg - 10 kg atau sekitar 50 gram untuk tiap 1 kg daging.
Ganja yang digunakan biasanya berusia 5 - 6 bulan. Usia 6 bulan disebut sebagai masa keemasan ganja. Masa itu ganja paling cocok untuk dipanen.
"Kan tidak menyalahkan. Untuk penyedap saja. Kadang-kadang yang digunakan daun dan bijihnya. Kalau daun, diambil yang dipucuk," kata sumber Bisnis.
Fatwa Haram
Tokoh agama sekaligus Pimpinan Dayah Mahyal `Umul Al Aziziyah Sibreh, Aceh Besar Tengku Faisal Ali menyebut pada umumnya ganja sudah difatwakan haram di Indonesia. Namun, hukumnya agak berbeda jika digunakan sebagai bahan masakan.
Menurutnya, pada kadar tertentu, penggunaan ganja tidak dipermasalahkan. Misalnya sebagai penyedap rasa. Pun begitu, sangat dilarang keras sampai memabukkan.
"Kalau masak kuah beulangong, cukup satu sendok teh saja sebagai penyedap," ucapnya.
Sekitar tahun 1970-an ganja masih tumbuh sembarangan di perkebunan masyarakat. Bahkan jual beli ganja belum dilakukan, apalagi mengingat transportasi masih sangat minim saat itu.
Saat itu, warga kerap menggunakan ganja untuk memberi rasa gurih pada masakan. Takarannya juga hanya sedikit tidak sampai memabukkan. Alhasil, tidak ada fatwa haram pada tahun itu untuk ganja.
"Melihat orang tidak benar memanfaatkan ganja, makanya diharamkan. Akan tetapi orang Aceh sudah menggunakan ganja sejak zaman dulu sebagai bumbu masakan. Ganja saat itu juga tidak diperjualbelikan," ujarnya.
Kebiasaan masyarakat menggunakan ganja pada masakan masih tetap berlangsung hingga kini. Pria yang kerap disapa Lem Faisal itu juga beberapa kali mencicipi masakan Aceh yang belakangan diketahui berbahan ganja.
"Sekarang juga masih ada [masyarakat yang menggunakan ganja sebagai bumbu masak]. Kalau ke kenduri [syukuran], saat makan kuah belangong langsung bawaannya ngantuk, itu sudah pasti [ada bumbu ganjanya]," katanya.
Di luar fatwa haram dan larangan peredarannya di Indonesia, ganja masih dipercaya masyarakat Aceh sebagai tumbuhan yang unik.
Selain menjadi bumbu masak, bagian ganja dapat menjadi obat diabetes, penyembuh luka bahkan menjadi obat rematik. Apalagi bagi petani cabai, ganja sering menjadi obat hama.