Bisnis.com, JAKARTA - Fajar Merah masih berumur lima tahun ketika ayahnya, Wiji Thukul, aktivis sekaligus penyair, hilang menjelang reformasi 1998. Fajar hanya mengingat ayahnya secara samar. Baginya, Wiji Thukul hanya sedang pergi, tetapi entah ke mana.
Begitulah benang merah dari film dokumenter berjudul Nyanyian Akar Rumput yang tayang di bioskop pada 16 Januari mendatang. Film itu secara garis besar menceritakan kisah keluarga Wiji Thukul dalam menjalani hidup setelah suami atau ayah mereka dinyatakan hilang.
Hilangnya Wiji Thukul menyisakan tanya, kegelisahan, dan luka bagi keluarga. Statusnya bahkan belum jelas hingga kini. Selain Wiji Thukul, ada 12 aktivis lainnya yang dinyatakan hilang saat reformasi. Jalan untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM itu seolah gelap dan berkabut.
”Saya hanya penasaran dan ingin mengenal [Thukul]. Orang lain yang orangtuanya sudah meninggal bisa mengunjungi makamnya, tapi saya mau ke mana? Ya sudah, saya di rumah saja,” ujar Fajar Merah, di Kantor Amnesty Internasional Indonesia, Menteng, Jakarta, pada Kamis (9/1/2020).
Kehilangan sosok ayahnya itu dipertanyakan oleh Fajar melalui musik sejak remaja. Hal itu membuat Fajar bersama teman-temannya di Sekolah Menengah Karawitan Surakarta membentuk sebuah band bernama Merah Bercerita pada 2012.
Sejak itu, Fajar mulai berkenalan dengan puisi-puisi Wiji Thukul. Dia dan grup musiknya menggubah puisi-puisi Thukul menjadi nyanyian. Salah satu puisi yang paling sering dinyanyikan Fajar di setiap konsernya adalah ”Bunga dan Tembok”.
"Dengan membawakan puisinya adalah cara saya berkenalan dengan beliau lewat lisan. Bukan untuk eksistensi saya semata. Dengan begitu, saya bisa memperkenalkan beliau kepada anak-anak muda melalui musik saya," tutur Fajar.
Film dokumenter Nyanyian Akar Rumput, yang mengambil judul dari salah satu puisi Wiji Thukul, pertama kali dirilis pada 2018. Film peraih Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia 2018 ini, memulai cerita dengan sederhana.
Cerita bermula ketika Fajar dan rombongan band Merah Bercerita bergegas menuju studio dengan naik mobil bak terbuka untuk melakukan rekaman. Dari studio sederhana itu, beberapa puisi Wiji Thukul, seperti Derita Sudah Naik Seleher mulai direkam menjadi album perdana.
Puisi-puisi Wiji Thukul seperti hidup kembali ketika Fajar mengubahnya menjadi lagu. Proses kreatif itu berlangsung di rumah Wiji Thukul. Berpadu dengan kegiatan memasak dan menjahit yang dilakukan Sipon, istri Wiji Thukul.
Film ini pun menghadirkan kisah perjalanan Merah Bercerita dari satu konser ke konser lain untuk menyebarkan puisi-puisi kritis Wiji Thukul. Ratusan generasi milenial menjelma penikmat musik mereka. Menandai keberlanjutan puisi Wiji Thukul yang seolah melintasi zaman.
Dalam konser di berbagai tempat, Fajar dan kakak perempuannya, Wani, kerap tampil bersama. Melalui lagu-lagunya, Fajar menyampaikan pesan kepada generasi milenal untuk melawan lupa terhadap kasus penculikan atas ayahnya dan sejumlah pelanggaran HAM lainnnya.
Pengingat Janji
Menurut sutradara Nyanyian Akar Rumput, Yuda Kurniawan, film ini merupakan bentuk pengingat janji terhadap pemerintah untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, salah satunya kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa periode 1997/1998.
"Saya ingin membuat film dokumenter musik yang juga bicara soal pelanggaran HAM dan penghilangan orang secara paksa. Tapi, cerita ini dibuat dari sudut pandang korban, yaitu Fajar dan Thukul. Melalui film, saya harap anak muda tahu akan isu ini,” kata Yuda.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menyampaikan bahwa film ini menjadi pengingat sekaligus penagih janji kepada Presiden Joko Widodo. Sebab, pada masa Pilpres 2014, Jokowi pernah berujar bahwa Wiji Thukul harus ditemukan dalam kondisi apa pun.
"Presiden harus menjadi sebagaimana presiden, yaitu kalau berjanji harus ditepati. Jadi, saya kira, karya ini menjadi pengingat janji tersebut," tutur Hamid.
Nezar Patria, salah satu korban penghilangaan paksa 1997/1998, menyampaikan bahwa film Nyanyian Akar Rumput dapat menjadi memori kolektif penanganan kasus HAM di masa lalu yang sampai saat ini belum ada jalan keluar. Keberadaanya juga diharapkan mampu mendorong pemerintah untuk menyusun langkah konkret penyelesaian.
Sementara itu, Yuda mengatakan bahwa film yang digarap selama empat tahun tersebut akan tayang di 15 bioskop di jaringan bioskop XXI dan CGV di Jakarta, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Palembang, Makassar, Medan, Bandung, dan Purwakarta.