Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa obat Chloroquine yang saat ini dijadikan sebagai obat Covid-19 sudah tidak lagi digunakan untuk pengobatan malaria.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Tular Vektor dan Zoonosis dr. Siti Nadia Tirmizi khawatir masyarakat akan menggunakan Chloroquine untuk pengobatan Covid-19 secara berlebihan.
“Nanti otomatis kalau dia minum Chloroquine karena dugaan awalnya Covid-19 tapi sebenarnya penyakitnya malaria, pasti demamnya akan turun sedikit tapi malarianya gak keobati, malah akan menjadi resisten malaria” katanya dikutip dari laman resmi Kemenkes.
Baca Juga Para Dokter di Italia Khawatir Penggunaan Chloroquine dan hydroxychloroquine untuk Covid 19 |
---|
Untuk penggunaan Covid-19, lanjutnya, tidak bisa hanya Chloroquine saja tapi harus dibarengi obat lain seperti oseltamivir. Ia menekankan bahwa Chloroquine sudah tidak lagi digunakan sebagai obat malaria karena terjadi resistensi terhadap penyakit tersebut.
Sekitar 2009-2010 klorokuin bisa dijual bebas, sebagai akibatnya resistensi yang sangat tinggi terhadap penggunaan Chloroquine terutama pada penderita malaria. Kondisinya saat itu setiap kali orang merasa demam langsung mengonsumsi Chloroquine, akibatnya demam hilang namun terjadi resistensi malaria.
“Kita khawatir, walaupun saat ini sedang pandemic Covid-19 tapi jangan sampai target kita mencapai eliminasi malaria pada tahun 2030 tidak tercapai,” ujarnya.
Chloroquine sendiri sudah tidak masuk ke dalam pengobatan malaria, artinya Chloroquine masih digunakan untuk obat-obat dengan penyakit lupus. Chloroquine sendiri sudah dihapus dari Daftar Obat Esensial (DOEN) dan Formularium Nasional (Fornas) untuk obat malaria sejak tahun 2010.
“Jadi memang ini yang menjadi konsen kami, walaupun Chloroquine masih ada dalam jumlah terbatas tapi memang sudah peruntukannya untuk penyakit lupus dan berbeda dosisnya dengan pengobatan malaria,” kata dr. Nadia.
Obat malaria yang digunakan saat ini adalah Dihidroartemisinin piperakuin (DHP) dengan Primakuin. Pada 2011 Badan POM sudah menyepakati Chloroquine tidak lagi digunakan untuk pengobatan malaria. Bahkan pada leaflet Chloroquine sudah dinyatakan indikasinya tidak untuk malaria.
Prinsipnya penggunaan Chloroquine yang tidak sesuai peruntukannya akan berpotensi menyebabkan resistensi terhadap malaria. Sehingga eliminasi Malaria 2030 tidak tercapai.
“Posisi sekarang ada 214 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi, yang sudah eliminasi 300 kabupaten/kota. Takutnya dengan kondisi Covid-19 ini untuk daerah yang belum mencapai eliminasi dan memang cenderung bahwa penyakit utamanya adalah malaria dan bukan karena Covid-19 tidak terjadi eliminasi malaria. Ini yang harus diwaspadai,” tegasnya.