Bisnis.com, JAKARTA - Alzheimer tentunya menjadi momok yang menakutkan bagi mereka yang mengidapnya., Karena penyakit yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya beberapa bagian dari otak itu secara perlahan akan menggerogoti kualitas hidup pengidapnya mulai dari kecerdasan, selera humor, dan bahkan kepribadiannya.
Alzheimer merupakan bagian dari demensia, yaitu sindrom gangguan penurunan fungsi otak yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif, emosi, dan daya ingat, perilaku, dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Selain Alzheimer, terdapat pula demensia vaskular yang penyebabnya adalah gangguan pembuluh darah di otak akibat dari diabetes mellitus atau hipertensi.
Keduanya kerap kali disebut oleh masyarakat awam sebagai pikun. Pikun sering dianggap sebagai hal normal yang dialami oleh para lansia. Demensia, khususnya Alzheimer akhirnya tak terdeteksi dan berakibat fatal bagi mereka yang mengidapnya lantaran tak ditangani dengan baik sejak dini.
Berdasarkan data dari Alzheimer’s Disease International dan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), terdapat lebih dari 50 juta orang di dunia yang mengalami demensia dengan hampir 10 juta kasus baru setiap tahunnya. Dari banyaknya kasus tersebut, Alzheimer menyumbang 60-70 persen kasus.
Di Indonesia, jumlah pengidap Alzheimer berpeluang untuk terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia atau aging population akibat dari peningkatan umur harapan hidup.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kesehatan Republik Indonesia, dr. Siti Khalimah, Sp.KJ, MARS Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk lansia dari 18 juta jiwa (7,56 persen) pada tahun 2010, menjadi 25,9 juta jiwa (9,7 persen) pada tahun 2019, dan diperkirakan akan terus meningkat dimana tahun 2035 menjadi 48,2 juta jiwa (15,77 persen).
Tentunya hal tersebut perlu diikuti dengan deteksi dini yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya, khususnya keluarga.
Menurut Dokter Saraf dari Rumah Sakit Universitas Indonesia, Pukovisa Prawirohardjo menyebut gejala demensia, sebagai lalilulelo yang tak lain adalah singkatan dari labil emosi atau pendiriannya, linglung atau suka bingung, lupa, lebih atau lamban dalam berpikir, dan logika berpikir menurun.
Kondisi yang perlu diwaspadai sebagai tanda demensia yakni intensitas lupa yang menjadi sering, sulit mencari barang atau ingatan, aktivitas ibadah dan produktivitas menurun. Kemudian variasi aspek lupa meningkat.
Misalnya, awalnya sering lupa menaruh barang, kini lupa janji, nama orang, hingga waktu makan. Berikutnya lupa informasi lama seperti alamat rumah atau kesulitan mengenali orang-orang terdekat.
Perkembangan teknologi membuat deteksi demensia, khususnya Alzheimer makin mudah. Kini, sudah ada aplikasi ponsel yang dapat digunakan oleh dokter maupun masyarakat awam untuk membantu mendeteksi apakah seseorang berpotensi menjadi pengidap Alzheimer atau tidak.
Aplikasi yang dimaksud adalah E-Memory Screening (EMS) yang diluncurkan pada September 2020 yang bertepatan dengan Bulan Alzheimer Indonesia. Aplikasi tersebut bisa diunduh dari Google Play Store maupun App Store.
Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (PERDOSSI), DR. dr. Dodik Tugasworo P, SpS(K), aplikasi yang dikembangkan oleh PT EISAI Indonesia itu akan memberikan pertanyaan-pertanyaan terkait Demensia Alzheimer yang mungkin dialami oleh pengguna aplikasi untuk mengetahui bagaimana kondisi memori seseorang.
Kemudian aplikasi tersebut akan memberikan skor dan apabila skor tersebut menunjukkan kondisi abnormal,maka aplikasi ini akan menyediakan fitur direktori rujukan terpercaya kepada dokter yang ada di sekitar pengguna.
Sementara itu, Ahli Saraf dari Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya yang juga menjabat sebagai Dewan Pembina Alzheimer Indonesia dr. Yuda Turana S. mengatakan kepikunan juga bisa dialami oleh mereka yang masih berusia muda. Perkembangan teknologi yang sedemikian pesat membuat banyak anak-anak muda enggan melakukan aktivitas fisik menjadi salah satu penyebabnya.
Kemudian ditambah lagi dengan nutrisi yang tidak seimbang akibat gaya hidup tidak sehat, terutama bagi mereka yang tinggal di perkotaan dengan aktivitas yang sedemikian padat. Walaupun tidak banyak yang akhirnya memperlihatkan gejala di usia muda, akan tetapi hal tersebut bisa menjadi pemicu munculnya Alzheimer di masa yang akan datang
“Pencegahan demensia khususnya Alzheimer bukan ketika usia 40-50 tahunan, tetapi saat usia muda. Pencegahan dalam hal ini adalah pola hidup sehat, dalam arti fisik, psikis tentu nutrisi juga. Aktivitas fisik, terutama aktivitas fisik yang kompleks dan menyenangkan itu akan menstimulasi otak,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yuda mengatakan aktivitas fisik juga harus diimbangi dengan psikis yang baik, Menurutnya, akan sia-sia seseorang yang rutin berolahraga tetapi hidupnya penuh dengan tekanan seperti stress maupun depresi. Demikian halnya dengan asupan nutrisi yang dierima oleh tubuh.
Senam Poco-poco Cegah Alzheimer
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencegah Alzheimer maupun demensia vaskular, salah satunya adalah dengan melakukan senam poco-poco. Menurut psikiater sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta dr. Ria Maria Theresa Sp.KJ, dirinya berhasil menggunakan senam tersebut untuk terapi penyembuhan pasien pra-demensia, khususnya yang mengidap diabetes mellitus.
Pasien pra-demensia adalah pasien yang berpotensi mengidap Alzheimer atau demensia vaskular dalam waktu tiga hingga lima tahun kedepan apabila tidak diberikan terapi atau intervensi medis.
“Berdasarkan penelitian [yang saya lakukan] pasien diabetes mellitus yang mempunyai daya kognitif ringan melakukan poco-poco selama tiga kali seminggu selama 12 minggu akan memperbaiki fungsi kognitif, terutama fungsi eksekutifnya di pre-frontal cortex-nya sebesar 37,5%,” ungkapnya.
Angka tersebut didapatkan melalui pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang memperlihatkan peningkatan jumlah neuron otak yang aktif. Gerakan menyerong, berputar, dan menyilang dalam senam poco-poco selain merangsang neuron otak juga ikut merangsang motorik, sensorik, dan emosi.
Walaupun demikian, Ria mengingatkan bahwa keberhasilan dari terapi yang menggunakan lagu asal Maluku itu tetap tak bisa dilepaskan dari kedisiplinan pasien itu sendiri. Selain itu, apa yang dirasakan oleh pasien juga ikut mempengaruhi keberhasilan terapi tersebut.
Perasaan gembira yang dirasakan oleh pasien tentunya ikut berpengaruh terhadap keberhasilan terapi yang dilakukan. Hal tersebut pula yang membuat Ria memilih senam Poco-Poco, alih-alih senam atau tarian lainnya.
“Sebenarnya tidak harus Poco-Poco yang penting membuat happy. Tetapi Poco-Poco ini kan bagian dari kekayaan budaya kita dan gerakannya tidak gemulai. Kemudian kesannya juga macho karena tentara saja melakukannya. Lelaki bisa melakukannya,” tutupnya.