Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah tren lonjakan kasus COVID-19, para komorbid dan penyandang Penyakit Tidak Menular (PTM) atau Non-Communicable Diseases (NCDs) berisiko lebih tinggi yang tetap membutuhkan akses terhadap layanan kesehatan.
Para penyandang PTM pada dasarnya lebih rentan terinfeksi COVID-19 karena sifat PTM yang umumnya kronis sehingga melemahkan sistem kekebalan tubuh mereka. PTM yang kerap ditemui sebagai penyakit penyerta infeksi COVID-19 adalah gangguan kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner dan stroke, kanker, diabetes melitus, dan gagal ginjal.
Menurut laporan mingguan NHS (National Health Service) UK mengenai tingkat mortalitas akibat COVID-19 di Inggris per 30 December 2021, sebesar 64 persen kasus kematian karena infeksi COVID-19 terjadi pada penderita dengan penyakit penyerta, seperti diabetes, gangguan jantung, asma dan gagal ginjal yang termasuk dalam Penyakit Tidak Menular. Sebelum pandemi, NHS juga menyebutkan bahwa penyakit jantung adalah penyebab utama kematian di Inggris dan di seluruh dunia.
Penyandang penyakit komorbid yang meninggal karena COVID-19. Seperti pengamatan di Malaysia pada awal Agustus 2021, sebanyak 755 dari 1.131 orang (atau 66%) meninggal karena infeksi COVID-19 memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, asma, penyakit ginjal, dan masalah kronis lainnya.
Di Indonesia tak jauh berbeda dengan fenomena global. Kementerian Kesehatan RI mencatat 90-94 persen kasus kematian COVID-19 di sejumlah daerah di Indonesia terjadi pada pasien dengan penyakit penyerta (komorbid). Menurut Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, ada empat penyakit tidak menular yang memiliki tingkat risiko kematian tinggi, yakni masalah ginjal, gangguan jantung, diabetes, dan hipertensi. Gangguan terhadap ginjal menjadi penyakit tidak menular dengan risiko kematian paling tinggi jika terinfeksi COVID-19.
Karena itu, penting bagi mereka penyandang PTM tetap memantau atau mengontrol penyakitnya agar tidak memburuk.
Kendati interaksi dan mobilitas antar manusia kini tengah dibatasi karena pandemi, konsultasi ke dokter secara rutin bukan menjadi sebuah masalah di era digital seperti sekarang. Pemanfaatan teknologi digital yang memfasilitasi pertemuan virtual individu dengan individu atau berkelompok juga membantu penderita penyakit tidak menular yang memiliki keterbatasan fisik agar dapat bertemu dengan dokter atau datang ke rumah sakit.
Pemanfaatan teknologi layanan dukungan medis via smartphone mampu mempermudah akses serta mempercepat proses penanganan masalah kesehatan di saat konsultasi tatap muka tidak mungkin dilakukan karena protokol kesehatan yang berlaku. Perpaduan layanan kesehatan konvensional dan via daring ditengarai menjadi solusi kolaboratif untuk masyarakat selama masa pandemi dan di masa mendatang.
Sebagian besar negara di dunia sudah menggunakan aplikasi medis, tidak terkecuali negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia. Dengan tingkat adopsi internet pada populasi yang tak jauh berbeda menurut hasil laporan Digital 2021, di mana Malaysia meraih 84,2% dan Indonesia 73,7%, pelayanan medis secara daring menjadi sebuah keniscayaan.
Malaysia sendiri mewajibkan sekitar 30% dari pasiennya untuk beralih ke konsultasi virtual selama masa pandemi COVID-19 yang juga didukung dengan layanan pengantaran obat melalui Grab atau Uber sehingga pasien tidak perlu ke rumah sakit, seperti dituturkan Prof. Dato’ Dr. Razman Jarmin, Direktur Hospital Canselor Tuanku Muhriz (HCTM), University Kebangsaan Malaysia (UKM) pada diskusi dan webinar yang berfokus pada keberlanjutan pelayanan pasien PTM baru-baru ini.
Menurut Statista Global Consumer Survey yang dirilis Oktober 2020, Indonesia menjadi negara peringkat ketiga dunia dalam memanfaatkan layanan medis daring setelah Cina dan India. Disusul di peringkat berikutnya Amerika Serikat dan Inggris. Dari kelima negara tersebut, Inggris masih menjadi negara dengan pelayanan kesehatan terbaik di dunia.
dr. Pukovisa Prawiroharjo, Sp.S(K), PhD, Ketua MKEK Pusat IDI dan penerima anugerah Satya Lencana 2019 mengatakan, selain pemanfaatan aplikasi digital.
"Pemanfaatan media digital lainnya seperti media sosial juga diperlukan untuk dapat mendeteksi dini keluhan Penyakit Tidak Menular yang dirasakan, seperti yang sudah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui akun media sosialnya”. ujarnya.
Konsultan Bedah Kardiak Rumah Sakit Royal Brompton & Harefield Hospitals (RBHH) di Inggris, Sunil Bhudia, mengatakan bahwa negaranya telah menerapkan pelayanan kesehatan berbasis teknologi daring jauh sebelum pandemi. Di 2017, Juliet Bauer, Director of Digital Experience di NHS England, yang merupakan bagian dari National Health Service (NHS), sebuah sistem perawatan kesehatan di United Kingdom (UK) dan terbesar di dunia yang didanai secara terpusat, di mana sebagian besar berasal dari perpajakan umum dan sebagian lagi berasal asuransi nasional.
Juliet Bauer bersama dengan Rachel Murphy, Delivery Director di NHS Digital, mulai mengimplementasikan visi mereka untuk menggunakan teknologi digital dengan menyediakan aplikasi yang dapat dipercaya untuk memberikan layanan kesehatan secara digital. Layanan ini mampu menghubungkan pasien dengan informasi dan layanan yang dibutuhkan secara nyaman dan terkoordinasi. Visi tersebut juga diwujudkan dalam bentuk NHS Digital Apps Library dan juga Mobile Health untuk pengembangan aplikasi yang dapat diakses pada laman developer.nhs.uk.
Sunil Bhudia mengatakan peningkatan ini terjadi di kelompok penderita penyakit tidak menular. Pemerintah dan penyedia layanan medis di Inggris juga terus mengkampanyekan konsultasi virtual untuk pasien PTM dengan membangun kesadaran pentingnya cek kesehatan rutin. "Hal ini juga dilakukan untuk mengurangi jumlah orang yang datang ke rumah sakit, sehingga mencegah adanya kemunculan klaster COVID-19 rumah sakit" ujar Sunil.
Salah salah satu aplikasi yang dipakai dokter di London untuk kepentingan tersebut adalah Atom5™ dari Aparito. Pelbagai fitur pada aplikasi ini memudahkan pasien untuk memberikan informasi secara detail mengenai kondisi kesehatannya. Tujuannya agar para tenaga medis dapat dengan mudah melakukan analisis untuk memberikan diagnosis kepada pasien. Aplikasi telepon seluler Atom5™ ini bahkan menyediakan teknologi analisis yang bisa memperbaharui kondisi kesehatan pasien setelah kunjungan. Teknologi ini terintegrasi ke wearable devices seperti smartwatch sehingga berbagai aspek kesehatan pasien bisa dilacak, dianalisis, dan diperbaharui secara otomatis. Menyadari bahwa data-data pribadi kesehatan adalah materi sensitif, Aparito berkomitmen untuk menjamin keamanan data pengguna dan telah lulus uji sertifikasi keamanan siber ISO/IEC 27001.
Contoh penggunaan dan penyedia layanan di atas layak memotivasi pertumbuhan industri layanan kesehatan berbasis digital dalam negeri. Di Indonesia, telemedicine adalah kategori yang bertumbuh pesat selama pandemi COVID-19, didukung perusahaan penyedia kenamaan seperti Halodoc, Good Doctor, Alodokter, KlikDokter dan beberapa lainnya yang juga merupakan mitra resmi Kementerian Kesehatan Indonesia.