RA Kartini - aquila style
Relationship

Mengenal Sosok RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan

Astrid Prihatini Wisnu Dewi
Rabu, 20 April 2022 - 16:19
Bagikan

Bisnis.com, SOLO - Raden Ajeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, dari istri pertamanya--M.A. Ngasirah, putri dari Siti Aminah dan KH Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Dikutip dari berbagai sumber, ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana (pembantu bupati/membawahkan camat) di Mayong. Sementara, peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan.

Nah, karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya pun menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura.

Setelah perkawinan itu, ayah Kartini pun diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Sementara itu, Kartini sendiri adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari ke semua saudara sekandung, ia adalah anak perempuan tertua.

Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.

Lalu, kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Di sini, Kartini pun belajar bahasa Belanda.

Lepas dari usia 12 tahun, lantaran Kartini bisa berbahasa Belanda, di rumah ia pun mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon.

Di saat yang bersamaan, dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini lantas tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Dari situ, timbul keinginannya untuk memajukan perempuan Tanah Air karena ia melihat bahwa perempuan-perempuan saat itu berada pada status sosial yang rendah.

Kartini kemudian banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft. Ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan) dan beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.

Menariknya, perhatian Kartini tidak hanya soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Hal tersebut diketahui dari buku-buku yang dibacanya, antara lain Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib), dan Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).

Sumber : JIBI/Solopos.com
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro