Bisnis.com, JAKARTA - Setelah dua tahun lebih menerapkan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tahun 2022 ini sekolah-sekolah di Indonesia mulai menerapkan sistem Pembelajaran Tatap muka. Namun, setelah beberapa bulan berjalan, Indonesia kembali dihadapkan pada naiknya kembali kasus Covid-19.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak, Retno Listyarti dalam konferensi pers Evaluasi Pembelajaran Tatap Muka IDAI dan KPAI memaparkan hasil pengawasan PTM yang dilakukan oleh KPAI selama tahun 2022 pada sekolah-sekolah di delapan provinsi dengan 12 kota dan lima kabupaten, menunjukkan ada beberapa masalah dalam pelaksanaan PTM.
Masalah-masalah itu berupa adaptasi infrastruktur kebiasaan baru, berupa pengadaan alat pencuci tangan, pengukur suhu, masker cadangan, alat menjaga jarak berupa panah-panah di tembok ataupun lantai. Retno menyebutkan, di beberapa sekolah sudah mulai tidak lengkap, seperti alat pencuci tangan yang sabunnya hilang atau pengukur suhu yang sudah rusak.
“Ada beberapa sekolah yang pada tahun sebelumnya kita datang itu semuanya masih berfungsi, tapi tahun ini justru alat pencuci tangan tidak ada sabun, atau pengukur suhu yang sudah rusak,” papar Retno pada (19/8/2022).
Retno menyebut beberapa sekolah yang disurvei oleh KPAI juga sudah tidak lagi menyediakan masker sejak Juli 2022, hal ini mempengaruhi intensitas penggantian masker murid.
“Dulu saat kami survei bulan Januari hingga Juni, sekolah masih adakan masker, Juli memang masih diadakan, tapi di kantin, anak-anak yang harusnya ganti masker setiap 4 jam sekali, kalau disuruh beli, tidak mau, pakai satu saja, sementara filtrasi maskernya sudah berkurang,”
Permasalahan PTM lainnya adalah penerapan 5M di Lingkungan sekolah yang sudah mulai tidak dipatuhi. “Sekarang sudah PTM 7-8 jam di sekolah, permasalahan ini semakin banyak tentunya, 51% sekolah menerapkan prokes secara ketat dan disiplin, ini biasanya selain diwajibkan memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dan lain-lain, tapi juga dibarengi dengan penekanan dari para guru agar anak tetap patuh prokes,” ungkap Retno.
Namun, Retno juga menyebut bahwa permasalahan protokol kesehatan terutama dalam menjaga jarak dipengaruhi berbagai faktor seperti ruang kelas yang sempit, serta pengadaan kantin yang terbatas namun jumlah murid yang banyak.
“Permasalahan utama itu memang kantin, itu crowded sekali, waktu pembelajaran yang sudah normal kan butuhkan anak-anak buat makan siang dan lain-lain, ini jadi waktu untuk buka masker, nah di beberapa sekolah kita temukan kantin yang terbatas namun jumlah siswanya hingga 1500 sekian, sementara di kantin penuh tidak jaga jarak, dan saat m akan tnetu tidak pakai masker”
Lebih lanjut, Retno juga menjelaskan permasalahan PTM lain, tentang penerapan protokol kesehatan yang sudah mulai longgar di beberapa sekolah terlebih sekolah yang sudah adakan ekstrakurikuler. “Kami mendukung PTM yang aman bagi anak-anak di masa pandemi, karena kasus juga sedang meningkat, hal-hal yang bersifat bukan utama spt ekskul itu harusnya dipertimbangkan, karena lebih lama anak-anak berada di sekolah dan pasti saat ekskul itu prokesnya longgar.
Senada dengan Retno, pakar tumbuh kembang anak dr. Ahmad Suryawan, SP. A(K) juga menyarankan hal yang sama terkait panjangnya waktu anak berada di lingkungan sekolah. “Sekolah harus mempertimbangkan waktu belajar, supaya mengurangi waktu anak berada di lingkungan sekolah, efisiensi ini untuk membantu memerangi learning loss pada anak,” kata Wawan pada kegiatan yang sama (19/8/2022).