Bisnis.com, JAKARTA - Peredaran obat substandar dan palsu menjadi risiko serius bagi banyak negara.
Dengan semakin meningkatnya aktivitas perdagangan online, permasalahan ini semakin kompleks dan sulit untuk diatasi.
Regional Advisor World Health Organisation South-East Asia Regional Office (SEARO) Adrien Inoubli mengatakan BPOM telah melakukan langkah-langkah cepat, responsif, efektif, dan transparan.
Salah satunya, soal isu sirup obat dengan kandungan cemaran Etilen Glikol (EG)/Dietilen Glikol (DEG) melebihi ambang batas.
“Dalam hal ini, BPOM Indonesia dapat menjadi salah satu contoh bagi negara lain. Tentu, pengalaman ini harus dibagikan kepada regulator di negara lain", jelasnya, Selasa (2/5/2023).
Dia menuturkan masalah obat substandar dan palsu merupakan masalah global yang melanda banyak negara, termasuk Marshall Islands dan Micronesia.
Fenomena ini memang memerlukan tindakan yang serius dan komprehensif dari regulator dan otoritas terkait di seluruh dunia.
Perbaikan dan pencegahan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia sangat penting dalam memperkuat sistem jaminan keamanan dan mutu obat di Indonesia.
Namun, tidak hanya Indonesia yang memerlukan perbaikan dan pencegahan, tetapi juga negara lain di seluruh dunia.
Negara-negara di seluruh dunia juga dapat bekerja sama dalam hal pengawasan dan penindakan terhadap obat substandar dan palsu yang masuk ke negara masing-masing, mulai dari penguatan sistem regulator, kampanye mengenai bahaya obat substandar dan palsu serta bagaimana cara menghindarinya.
Selain itu, perlu adanya tindakan yang lebih tegas dan ketat dari regulator dalam melakukan pengawasan dan pengendalian atas produksi, distribusi, dan penjualan obat.
Menurut WHO, kolaborasi antar-negara dapat memperkuat sistem regulator dan meminimalkan risiko terjadinya kasus obat substandar dan palsu di masa depan.
Sementara itu, Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan kejadian ditemukannya obat terkontaminasi beberapa waktu lalu, menjadi momentum bagi BPOM untuk melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan secara komprehensif.
“Hal ini hendaknya memicu awareness tentang perlunya perkuatan sistem regulatori di otoritas pengawas obat untuk mencegah kasus serupa”, paparnya.
Kepala BPOM juga menyampaikan pada prinsipnya pengawasan obat di Indonesia merupakan sinergi peran tiga pilar dengan industri farmasi sebagai pemegang izin edar obat memiliki tanggung jawab utama, pemerintah sebagai regulator, dan masyarakat sebagai konsumen/pengguna akhir obat.
BPOM sendiri melakukan langkah-langkah antisipatif, seperti intensifikasi surveilans mutu produk, penelusuran dan pemeriksaan terhadap sarana produksi dan distribusi, hingga pemberian sanksi administratif, termasuk melakukan verifikasi pemastian mutu terhadap sirup obat yang beredar.
Upaya-upaya penindakan pun turut dilakukan terhadap sarana produksi dan distribusi jika terdapat unsur pidana bidang kesehatan.
Kondisi tersebut pun menjadi alasan penunjukan Indonesia sebagai tempat terselenggaranya workshop Regional Workshop on Ensuring Quality of Medicines from Contaminated Substances
Kegiatan ini diikuti secara hybrid oleh 11 negara anggota WHO SEAR terdiri dari Bangladesh, Bhutan, Korea Utara, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, Srilanka, Thailand, dan Timor Leste ini bertujuan untuk mendukung semua Negara
Anggota SEARO dalam menggunakan pendekatan berbasis risiko untuk memastikan mutu produk obat serta perkuatan fungsi sistem regulatori.
“Kami mengharapkan workshop ini dapat memfasilitasi kolaborasi dan sinergi yang semakin kuat antar National Regulatory Authority SEARO untuk bersama-sama membangun ekosistem global yang efektif dalam penanggulangan dan pencegahan peredaran obat ilegal, palsu dan substandar”, lanjut Kepala BPOM.
Sebagai informasi, Indonesia terpilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan “Regional Workshop on Ensuring Quality of Medicines from Contaminated Substances” yang diprakarsai oleh World Health Organisation South-East Asia Regional Office (WHO SEARO) pada tanggal 2–4 Mei 2023 di Jakarta.