Bisnis.com, JKAARTA - Banyak penderita saraf terjepit memilih menunda operasi bahkan pergi ke pengobatan alternatif lantaran takut menderita kelumpuhan.
Namun, ketakutan terhadap risiko lumpuhan sebagai akibat dari operasi saraf terjepit pada area tulang belakang tidaklah beralasan secara keseluruhan.
Meski operasi pada area tulang belakang melibatkan saluran saraf yang penting dari otak ke seluruh tubuh, risiko kelumpuhan setelah operasi jarang terjadi dan biasanya sangat rendah.
Hal tersebut pun dijelaskan oleh Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Harmantya Mahadhipta menyebutkan dengan berbagai teknik operasi yang telah dikembangkan dengan teknologi canggih, sehingga semakin efektif dan aman.
Berkaitan dengan hal ini, dirinya pun menyebut sejumlah ahli bedah di Tanah Air telah menggunakan augmented reality (AR) untuk meningkatkan bantuan dan layanan dalam mengatasi keluhan tulang belakang.
Sebagai dokter spesialis bedah ortopedi di RS EMC Tangerang, dirinya menyebut inovasi itu menggabungkan dua hal, yaitu pasien sebagai realitas dan teknologi imaging (pencitraan medis).
Bahkan, dia menyebut dengan adanya teknologi ini, maka tingkat presisi operasi pun berada di bawah 1 milimeter, yang artinya tindakan bedah dengan akurasi yang sangat tinggi.
“Alat ini sangat dibutuhkan apalagi struktur tulang belakang itu sangat kompleks ya,” ujarnya.
Harmantya melanjutkan, gabungan antara data pasien dan teknologi tersebut dimasukkan ke dalam kacamata hololens. Melalui kacamata hololens, dokter dapat melihat data tersebut secara langsung.
“Biasanya, kalau kita operasi dengan mata telanjang, yang kita lihat hanya pasien saja. Dengan adanya hololens atau kacamata AR, kita bisa melihat pasien plus datanya, misalnya (hasil) CT scan-nya,” ujarnya.
Dalam penggunaannya, Harmantya mengungkap, dokter perlu mengunggah data pasien ke dalam kacamata hololens.
“Pada saat kita mau operasi pasien A, kita meng-upload data pasien A. Sehingga, yang kita lihat nanti adalah tulang pasien A,” jelasnya.
Prosedur Penggunaan AR dalam Operasi
Berdasarkan pemaparan Harmantya, ada dua cara penggunaan AR untuk operasi pasien.
Pertama, sebelum pasien itu berada di meja operasi, maka para ahli bedah tersebut lakukan CT scan menggunakan QR Code untuk merekam data pasien.
“Setelah itu, kita masukkan ke server untuk diolah datanya, dilakukan surgical planning (perencanaan bedah), lalu dimasukkan ke kacamata hololens,” ujarnya.
Kedua, adalah pengambilan data secara langsung saat pasien berada di meja operasi.
Terkait biaya, Harmantya menyebut besarannya tergantung pada kasus.
Biasanya pasien akan merogoh kocek dari Rp20 juta sampai Rp40 juta. Dirinya turut menambahkan bahwa pengobatan spesial ini masih belum bisa oleh BPJS.
Melansir dari laman EMC, untuk memutuskan penggunaan sistem AR, Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP), yaitu Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Konsultan Tulang Belakang akan memeriksa pasien dan menentukan tindakan yang tepat guna menentukan apakah kondisi bisa diatasi dengan inovasi AR atau tidak.
“Tidak ada batasan umur dari yang kecil hingga dewasa bahkan lansia. Teknologi ini bisa digunakan di nyeri punggung, degenerasi tulang belakang, spinal stenosis, masalah bantalan sendiri, scoliosis dan spinal instability,” ujarnya.