Bisnis.com, JAKARTA — Virus Nipah belakangan menjadi momok di kalangan masyarakat, karena telah menjadi wabah serta menyebabkan banyak kasus kematian.
Namun, Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa belum ada kasus penularan Virus Nipah di Indonesia, meski demikian mengimbau masyarakat tetap harus waspada.
Kemenkes menjelaskan, Virus Nipah berasal dari hewan, masuk dalam genus Henipavirus dan dalam famili Paramyxoviridae. Virus ini umumnya ditularkan ke manusia dan hewan baik hewan liar atau pun hewan domestik dari kelelawar buah.
Virus ini pertama kali ditemukan pada 1998 dan sempat mencatat 700 kasus di 5 negara yakni Malaysia, Singapura, Bangladesh, India, dan Filipina. Dari 700 kasus tersebut ada 407 kasus yang meninggal dunia.
Adapun, dari 407 kasus kematian Virus Nipah di seluruh dunia, sebanyak 238 atau 58,5 persennya dicatatkan di Bangladesh.
Tahun ini, per 4 Januari - 13 Februari tercatat ada 11 kasus Virus Nipah di Bangladesh, dengan8 di antaranya meninggal dunia.
Sementara itu di India, kasus Virus Nipah muncul pada 2021 yang menyerang 1 anak usia 12 dan menyebabkan kematian.
Kemudian, pada 12 September diumumkan virus itu kembali menyerang di Kerala, India dan pada 18 September dilaporkan sudah ada 6 kasus terkonfirmasi dengan 2 di antaranya meninggal.
Virus nipah yang sebelumnya terjadi di India memiliki gejala antara lain demam akut yang disertai gejala pernapasan akut atau kejang, penurunan kesadaran, serta memiliki riwayat perjalanan dari daerah terjangkit.
Dari kasus yang sudah ada sebelumnya, gejala diawali dengan sakit kepala dan rasa kantuk terus menerus. Namun, jika tidak ditangani dengan serius dan segera, dapat dengan cepat berubah menjadi koma.
Gejala lainnya adalag sindrom pernafasan akut, di mana paru-paru tidak dapat bekerja dengan baik dan memberikan cukup oksigen ke seluruh tubuh. Virus Nipah juga diduga menyebabkan ensefalitis atau peradangan otak.
Dalam surat edaran yang diterbitkan Kemenkes, Dirjen P2P Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu meminta KKP, dinkes provinsi/kabupaten/kota, serta fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) untuk melakukan pemantauan kasus dan negara terjangkit di tingkat global melalui kanal resmi Kemenkes dan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Kemudian, seluruh dinkes dan fasyankes agar meningkatkan pengawasan terhadap orang (awak, personel, dan penumpang), alat angkut, barang bawaan, lingkungan, vektor, binatang pembawa penyakit di pelabuhan, bandar udara (bandara), dan pos lintas batas negara (PLBN), terutama yang berasal dari negara terjangkit.
Fasyankes juga diminta untuk memantau dan melaporkan kasus yang ditemukan sesuai dengan pedoman melalui laporan Surveilans Berbasis Kejadian/Event Based Surveillance (EBS) kepada Dirjen P2P melalui aplikasi SKDR dan Public Health Emergency Operation Centre (PHEOC) di nomor Telepon atau WhatsApp di 0877-7759-1097.
Maxi juga meminta dinkes untuk mengirimkan spesimen kasus suspek ke Balai Besar Laboratorium Biologi Kesehatan d/h Laboratorium Prof. dr Srie Oemijati untuk dilakukan pemeriksaan.
Maxi mengharapkan fasyankes dan masyarakat juga bisa meningkatkan kewaspadaan dini dengan melakukan pemantauan kasus terhadap gejala yang dialami.