Bisnis.com, JAKARTA -- Sebagai penyumbang angka kematian terbesar di Indonesia, penyakit jantung memiliki beberapa jenis yang seringkali terjadi secara mendadak dan bisa menyebabkan kematian jika tak segera ditangani dengan tepat.
Penyakit pada jantung saat ini tidak hanya dialami oleh orang yang sudha lanjut usia, tapi juga orang dewasa muda, tak terkecuali yang memiliki tubuh sehat.
Jenis penyakit jantung yang paling sering mengakibatkan henti jantung adalah gangguan irama jantung atau disebut aritmia, yang berupa fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel yang cepat.
Di Indonesia, jumlah pasien yang meninggal akibat kematian jantung mendadak diperkirakan lebih dari 100.000 jiwa per tahun.
Salah satu jenis yang muncul adalah Sindroma Brugada, gangguan aritmia yang terjadi pada pasien tanpa keluhan. Menjadi penyumbang terbesar kematian jantung mendadak pada individu yang sehat atau lebih dari 20%, terutama di daerah Asia Tenggara.
dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital, menyebutkan penyakit ini terjadi ketika penderita akan mengalami impuls listrik pada sel di bilik kanan atas jantung hingga menyebabkan jantung mudah berdetak dengan cepat.
"Penderita Sindrom Brugada memiliki cacat pada sangat cepat (fibrilasi ventrikel). Akibatnya, irama jantung saluran ini dan menyebabkan jantung mudah berdetak dengan terganggu dan bisa berakibat fatal," ujar dr. Sunu saat konferensi pers di Jakarta, Senin (25/3/2024).
Gejala Sindrom Brugada
Gejala yang timbul dari sindrom Brugada tidak jauh berbeda dengan gangguan irama jantung lainnya, seperti
• Rasa berdebar
• Pingsan
• Kejang
Penyakit ini juga menjadi salah satu penyebab banyak kematian mendadak. Namun, sampai saat ini penyebab sindrom Brugada belum jelas.
"Akan tetapi, faktor genetik dipercaya memberi kontribusi yang penting. Dari hasil interview dengan seorang pasien berusia 46 tahun, didadapatkan bahwa dalam keluarganya ada riwayat kakak kandung pasien meninggal mendadak pada usia 50an. Pada pemeriksaan lanjutan, ditemukan bahwa pada pasien ini sangat mudah tercetus fibrilasi ventrikel, sebuah irama jantung supercepat yang mengancam nyawa. Kondisi tersebut menyebabkan jantung dapat berhenti di waktu yang tidak diketahui," paparnya.
Untuk penanganannya, kata dr. Sunu, perlu dilakukan pemasangan alat kardiak defibrilator implan (ICD) agar mampu menormalkan denyut jantung sehingga terhindar dari risiko fatal.
"Dengan kemajuan teknologi, pemasangan ICD kini tak perlu langsung di jantung, tetapi bisa diletakkan di bawah kulit melalui metode Subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator (S-ICD)," jelasnya.
Namun, sayangnya di Indonesia prosedur ini belum begitu populer. Terlihat dalam data Asia Pascific Heart Ryhtm Society (APHRS) bahwa di Indonesia sepanjang 2021 hanya ada 66 orang yang menggungakan prosedur ICD dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, misalnya Thailand yang sudah menggunakan ICD untuk 890 pasien.
"Salah satu alasannya karena biaya prosedurnya yang tidak murah dan tidak dicover BPJS. Karena di negara lain prosedur ini dicover oleh asuransi kesehatan negaranya," jelasnya.