Bisnis.com, JAKARTA - Implementasi kemasan rokok polos tanpa merek dinilai mempersulit akses konsumen dewasa untuk beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. Aturan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Kesehatan.
RPMK yang disusun memuat ketentuan kemasan polos (plain packaging) untuk produk tembakau dan rokok elektronik. Ditargetkan aturan tersebut rampung pada pekan kedua September 2024.
Sekretaris Aliansi Vaper Indonesia (AVI), Wiratna Eko Indra Putra menilai penyusunan PP No. 28/2024 hanya mewakili kepentingan sepihak dari sisi kesehatan tanpa mempertimbangkan aspek pendukung lainnya.
"Pengesahan regulasi tersebut jelas mempersulit akses konsumen dewasa untuk beralih ke produk yang lebih rendah risiko," kata Wiratna dalam keterangannya, Senin (16/9/2024).
Saat ini, lanjutnya, sudah terdapat berbagai kajian ilmiah dari luar dan dalam negeri yang menemukan bahwa produk tembakau alternatif memiliki profil risiko kesehatan yang lebih rendah.
Menurutnya, salah satu tujuan produk tembakau alternatif adalah mengurangi risiko penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok. Selain itu, perokok dewasa diberikan pilihan yang lebih rendah risiko untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Alih-alih menerapkan aturan yang dapat menjadi langkah mundur dalam menurunkan prevalensi merokok, Wiratna berharap pemerintah bisa berkaca dari keberhasilan negara maju, seperti Inggris, yang menggencarkan produk tembakau alternatif sebagai upaya menekan angka perokok.
Selain itu, kajian ilmiah dari lembaga-lembaga penelitian lokal tentang produk tersebut juga perlu dilakukan secara masif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat.
Secara terpisah, pengamat kebijakan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Fathudin Kalimas, menyatakan partisipasi publik harus dibuka secara inklusif dengan melibatkan segenap pihak, khususnya yang terdampak akibat dikeluarkannya PP 28/2024 tersebut.
"Jika dalam pembentukannnya tidak melibatkan stakeholder terkait, maka berdampak soal legitimasi dan efektivitasnya di lapangan," ujarnya.
Fathudin menegaskan banyaknya peraturan yang menuai polemik akibat minimnya kanal aspirasi berbagai pemangku kepentingan sebaiknya direvisi. Prinsip dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah keadilan, sehingga harus mencerminkan berbagai kepentingan yang ada.