Denyut jantung sering kali menjadi tidak beraturan ketika kita merasa kelelahan, ketakutan, maupun canggung. Namun, jika kondisi tersebut terjadi secara berulang disertai perasaan lemah, nyeri, dan sesak, Anda patut waspada karena kondisi tersebut bisa memicu serangan strok.
Kelainan irama jantung atau yang dalam istilah medis disebut fibrilasi atrium (FA) terjadi karena kekacauan kontraksi dari ruang serambi jantung. Kondisi ini akan membuat aliran darah menjadi tidak terkontrol sehingga menyebabkan sel darah merah membeku dan mengental.
Ketika sel darah yang beku tersebut dilepas dan masuk ke sirkulasi sistemik menuju ke otak, maka dapat menyumbat pembuluh darah besar di otak. Akibatnya pembuluh darah kecil yang ada di ujung-ujung akan mati karena tidak mendapatkan pasokan darah sehingga menyebabkan pasien terserang strok.
Daniel Tanubudi, dokter spesialis jantung dari Rumah Sakit Eka Hospital mengatakan penderita fibrilasi atrium memiliki risiko 5 kali lebih tinggi mengalami stroke dibandingkan orang tanpa penyakit FA. Jika penanganannya terlambat, bisa menyebabkan cacat permanen dengan kerusakan yang lebih luas hingga kematian.
Untuk mendeteksi gejala gangguan irama jantung dapat dilakukan dengan metode “menari” atau meraba nadi sendiri baik di pergelangan tangan maupun di bagian leher. Hitung denyut nadi selama 10 detik lalu kali enam, jika berada pada rentang 60 hingga 100 maka dikatakan normal tetapi jika sudah di atas 100 atau di bawah 60, perlu berhati-hati.
“Jika detak jantung tidak normal, disertai berbagai gejala lemas, sesak, dan tidak nyaman. Harus segera periksakan diri ke rumah sakit agar diberi penanganan dini oleh dokter karena risiko strok pasien FA sangat tinggi,” ujarnya.
Ruben Onsu Gugat Merek Bensu Punya Warga Bandung
Terdapat beberapa penyebab munculnya penyakit fibrilasi atrium terutama karena faktor usia, obesitas, serangan jantung, hipertensi yang tidak terkendali, hingga gaya hidup yang tidak terkontrol disertai munculnya berbagai penyakit kronik lain seperti diabetes dan kolesterol.
Prevalensi FA di Asia diperkirakan akan terus meningkat. Bahkan pada 2050 akan ada sekitar 72 juta orang menderita FA. Hal ini dipicu juga dengan bertambahnya populasi usia lanjut dari 7,74% pada 2000 menjadi 28,68% pada 2050.
Menurutnya, 1 dari 6 kasus strok dialami oleh pasien yang mengalami gangguan irama jantung. Pada usia lanjut di atas 65 tahun, risiko penderita FA terserang strok naik hingga 15%. Kelumpuhan merupakan bentuk kecacatan yang sering dijumpai pada kasus stroke dengan FA.
Baca Juga Pakai Lipstik Warna Hitam, Berani? |
---|
Berdasarkan survei dari Kementerian Kesehatan pada 2014, sekitar 21,1% kematian di Indonesia disebabkan oleh strok dan merupakan penyakit kematian nomor 1 di Indonesia. Bahkan dari data WHO, ditemukan adanya 17 juta kasus baru strok setiap tahunnya dan 7 juta di antaranya berujung pada kematian.
Gejala Strok
Mengingat besarnya risiko dari penyakit strok, masyarakat harus mewaspadai gejala-gejala awal terjadinya strok. Dokter spesialis saraf Mohammad Kurniawan mengatakan terdapat beberapa gejala awal yang dapat dideteksi.
Senyum yang tidak simetris atau mencong ke satu sisi. Gerak separuh anggota tubuh melemah sehingga ketika tangannya diminta untuk diangkat, satu sisinya akan lebih lemah. Bicaranya pelo atau mendadak tidak dapat berbicara bahkan pasien terkadang sulit mengerti kata-kata atau memahami pembicaraan dari orang lain.
Selain itu, pasien juga akan merasa separuh badannya terasa kebas, mati rasa, atau kesemutan. Orang strok juga akan mengalami rabun atau pandangan matanya menjadi kabur sehingga kehilangan fungsi penglihatan, dan yang terakhir merasakan sakit kepala hebat yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Di samping itu, pasien mengalami gangguan fungsi keseimbangan, seperti terasa berputar, dan gerakan sulit dikoordinasi.
Nikmati Sensasi Unik The Ritz Carlton Spa, Pakai Cabai & Lidah Buaya
“Kami menyebut ini slogan ‘Segera Ke RS’, jadi kalau ada kerabat terdekat atau bahkan diri sendiri merasakan gejala ini sebaiknya segera ke rumah sakit agar bisa mendapat pertolongan yang dibutuhkan,” tuturnya.
Sebab, bagi pasien strok waktu merupakan yang terpenting. Menurutnya, golden period atau waktu terbaik mulai dari serangan strok hingga mendapatkan pertolongan pertama dari dokter idealnya 4,5 jam.
Namun, sayangnya di Indonesia hanya 10% yang datang kurang dari 4,5 jam, 90% di antaranya ke rumah sakit setelah terlambat, kebanyakan setelah sehari, lima hari, atau bahkan seminggu. “Padahal kalau lebih dini terdeteksi, kesempatan untuk sembuh akan lebih besar karena jika terus dibiarkan sel otak semakin kekurangan oksigen sehingga bisa sebabkan kelumpuhan,” ujarnya.
Kurniawan mengatakan sebelum terlanjur terkena serangan strok, pasien yang memiliki penyakit FA lebih baik melakukan pengobatan terlebih dahulu dengan mengonsumsi obat pengencer darah untuk menghindari terjadinya sumbatan di otak.
Namun, yang perlu diperhatikan jangan sampai obat pengencer darah tersebut justru menyebabkan pendarahan karena akan menimbulkan komplikasi penyakit lainnya. Berdasarkan hasil penelitian Xarelto for Prevention of Stroke in Patients With Atrial Fibrillation in Asia (XANAP) yang sudah dipublikasikan pada Jurnal of Arrhythmia, terapi dengan pengobatan Rivaroxaban sangat efektif menurunkan risiko perdarahan pada pasien FA.
Yaitu hanya 1,5% per tahun, jauh di bawah obat-obatan lainnya seperti warfarin yang justru dapat menyebabkan pendarahan hebat sehingga penggunaannya harus terus dimonitor.