Bisnis.com, WELLINGTON - Opera House, Wellington, ‘pecah’ saat Edo Kondologit selesai membawakan lagu Pangkur Sagu, di depan sekitar 1.300 penonton. Tepuk tangan begitu meriah.
Lagu Papua yang bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada tamu penting itu menjadi pembuka konser bertajuk The Symphony of Friendship di Wellington, Jumat (9/11/2018) malam.
Edo yang berasal dari Papua bersama Gita Gutawa dan Andmesh Kamaleng (penyanyi asal NTT), adalah tiga solois Indonesia yang tampil dalam konser merayakan 60 Tahun Hubungan Indonesia-Selandia Baru tersebut.
Selain itu, Konser didukung dua penyanyi dari suku Maori; Maisey Rika dan Tama Waipara.
Suasana Opera House tampak berbeda. Sebagian penonton jingkrak-jingkrak sepanjang konser selama hampir 2 jam itu. Suasana itu menjadi ‘tontonan’ tersendiri, mengingat lazimnya pertunjukan konser, penonton hanya tepuk tangan tanpa joget-jogetan.
Setidaknya 12 lagu yang dinyanyikan secara kolaboratif, yang merepresentasikan musik dan budaya kedua negara.
Konser itu diiringi oleh Orkestra Wellington, salah satu orkestra tertua di Selandia Baru. Orkestra itu memainkan lagu-lagu dari Maori—suku asli Selandia Baru—yang “sangat Polinesia”, kemudian digabungkan dengan lagu-lagu dari Maluku, Papua, dan NTT.
Bertindak selaku arranger adalah Erwin Gutawa, yang menggarap aransemen dengan sangat baik. Banyak penonton asal Indonesia dan penonton dari Selandia Baru mengaku puas dan memberikan pujian.
Erwin memimpin orkestra itu dengan baik, sehingga lagu-lagu Ambon senafas dengan lagu-lagu Maori. Lagu-lagu Papua seirama dengan lagu-lagu dari Vanuatu. Seusai pertunjukan, Erwin mengaku senang karena untuk pertama kalinya musik menjadi alat diplomasi politik.
Diplomasi lewat musik. Begitulah solusi yang ditawarkan Duta Besar Republik Indonesia untuk Selandia Baru Tantowi Yahya.
Tantowi menawarkan konsep diplomasi budaya untuk menembus handicap yang dijumpai dalam hubungan dengan negara-negara di kawasan Pasifik, agar Indonesia dapat lebih diterima.
Tantowi bertugas sebagai Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang berkedudukan di Selandia Baru, sekaligus dengan tugas mencakup Samoa dan Tonga. Di kawasan Pasifik, saat ini ada 18 negara yang terbagi setidaknya dalam dua ras besar, yakni Melanesia dan Polinesia.
Melanesia artinya black, warga yang kulitnya hitam, yakni di Vanuatu, Solomon, Fiji, Nauru, Papua Nugini, Papua, serta NTT. Polinesia berkulit hitam tetapi sudah kecokelatan, seperti Hawaii, Maori, Samoa, Tonga, dan Maluku.
“Jadi kalau bicara konteks geografis, kita ini adalah Pasifik,” jelas Tantowi.
Dari total populasi Melanesia-Polinesia yang mencapai 18 juta, penduduk dari timur Indonesia—Papua, Maluku dan NTT—mencapai 11 juta. Dengan demikian, kata Tantowi, lebih dari 60% suku Melanesia-Polinesia itu ada di Indonesia.
“Nah, klaim ini yang coba kami rebut. Akan tetapi, tidak bisa melalui ofensif diplomasi, karena pasti kita akan dilawan,” ujar Tantowi.
Oleh karena itu, cara yang dilakukan adalah dengan menghadirkan budaya, terutama melalui musik.
“Yang coba kami tawarkan selama kami bertugas di sini adalah menjual ke-Pasifik-an Indonesia,” tegasnya.
Kalau upaya diplomasi budaya itu berhasil, Tantowi yakin dengan sendirinya konsep bahwa Indonesia adalah Melanesia-Polinesia akan dapat diterima.
Selama ini, jelasnya, dia menyerap persepsi orang Pasifik mengenai Indonesia ada dua. Pertama, Asia dan Islam. Kedua, Papua dianggap Melanesia dan Kristen. Persepsi tersebut terkesan bertolak belakang, sehingga upaya diplomatik yang selama ini dilakukan selalu mendapatkan resistensi.
Menurut Tantowi, ada satu fakta besar yang tidak dikapitalisasi oleh Pemerintah Indonesia selama ini, yakni Indonesia adalah Pasifik. Ini mengingat ada 5 provinsi Indonesia di bagian timur, yakni dua di Papua, dua di Maluku, dan Nusa Tenggara Timur yang secara geografis terletak di Pasifik.
“Jadi klaim kita selama ini kita adalah Pasifik adalah benar, tetapi tidak kita mainkan selama ini,” ujarnya.
Tantowi yang malam itu bertindak selaku host konser, sebelumnya menjelaskan bahwa kenalannya di Wellington kaget ketika dia mengutarakan rencana untuk menghelat konser di tempat tersebut.
Pasalnya, mengundang 1.300 penonton untuk menghadiri acara negara lain di Wellington tidak mudah.
“Apalagi tahu ada udang di balik batunya,” katanya berseloroh.
Namun, seminggu sebelum acara, seluruh undangan tiket sudah ludes. Meski tidak dijual, tiket yang dikirimkan kepada para undangan terkonfirmasi untuk datang. Termasuk 150 undangan dari Indonesia.
Yang pasti, tempat duduk Opera House dengan kapasitas 1.300 tempat duduk itu memang terisi penuh.
Ketua Parlemen Selandia Baru Trevor Mallard juga hadir. Begitu pula para menteri di Wellington, perwakilan negara-negara sahabat serta perwakilan dari 18 negara di Pasifik.
Ferdi Hassan, host televisi yang turut menonton acara itu, bertutur sekitar 44 temannya datang langsung dari Auckland untuk menyaksikan konser tersebut.
Dari Indonesia, hadir Ketua DPR Bambang Soesatyo, perwakilan dari Kemenlu dan Kementerian Pariwisata serta Kemendikbud.
Rachmat Gobel, pengusaha nasional dari Grup Panasonic Gobel, memuji konser yang menurutnya digelar sangat baik.
Melibatkan 70 permain, konser itu disiapkan dengan matang. Semua atas inisiatif Tantowi Yahya, yang merangkul sponsor dari BUMN dan swasta termasuk BNI, Panasonic, Djarum Foundation, Bukaka, Bank Mayapada, Finna, Hotel Sotis Kupang, dan Pro XL.
Seusai pertunjukan, Tantowi tampak puas dan lega. Selain sukses, acara tersebut berlangsung di luar ekspektasinya.
“Itulah ultimate goal kita, bahwa secara budaya memang sudah tidak ada bedanya,” ujar Tantowi.
Dengan itu, dia berharap ikatan kultural Indonesia dengan bangsa-bangsa di Pasifik dan bangsa Maori sebagai suku asli Selandia Baru dapat diperkuat.
Era baru diplomasi di Pasifik sudah dimulai.