Jika warna kesukaan seseorang bisa ditebak dari cara dia berpakaian, dapat dipa stikan pria bertubuh sedang ini pastilah penyuka warna hitam. Sembarimenyantap sepiring spaghetti, pria itu, Damien Dematra, mengisahkan perkenalan pertamanya dengan dunia sinema Indonesia.
Awalnya, pada 2007, khalayak termasuk Damien dikejutkan dengan peristiwa kecelakaan pesawat Adam Air. Meskipun tidak satu pun korban merupakan kenalannya, dia menyaksikan melalui pemberitaan media bagaimana belasan pemuka agama meninggal dalam peristiwa tersebut.
Damien, yang ketika itu sudah mengantongi berbagai penghargaan di bidang fotografi termasuk International Master Photographer of The Year, sontak merasa sangat ketakutan.
“Dari situ saya menyadari, hidup itu sangat singkat, terlepas dari berapa banyak doa yang kita panjatkan,” tutur pria yang menolak menyebutkan tahun kelahirannya ini.
Setelah peristiwa tersebut, Damien seperti mengalami trance, dalam waktu 7 hari, diselesaikannya novel setebal 1.500 halaman. Dalam periode itu, dia mengisahkan, dirinya juga berkali-kali masuk unit gawat darurat (UGD), dengan gejala seperti sakit jantung.
“Tapi saya tidak sakit jantung, dokternya malah bilang kalau saya kelebihan energi dan harus mencari aktivitas yang lebih menguras tenaga daripada menulis atau fotografi ,” ungkap pria kelahiran 25 Februari tersebut.
Pilihannya untuk melebarkan sayap ke dunia fi lm tidak mengherankan, mengingat pria berkulit kuning ini tentunya sudah hafal di luar kepala mengenai seluk beluk teknik kamera seperti pencahayaan dan komposisi gambar.
Hanya saja, dia harus belajar dari nol mengenai hal-hal seperti pengadeganan dan penulisan naskah. Pada awal petualangannya di dunia fi lm, Damien merangkap semua jabatan dan hanya bermodalkan sebuah kamera film.
Semua sisa teknik yang belum dia kuasai tadi, dipelajari secara otodidak dengan prinsip trial & error. Film yang dia hasilkan dalam periode ini antara lain Melati Berdarah dan Mawar untuk Mama.
GAMPANG BIKIN FILM
Damien mulai dikenali oleh publik ketika fi lmnya yang berjudul Di Atas Kanvas Cinta, 2009, ditayangkan di Kineforum Taman Ismail Marzuki dan dirinya diprofi lkan oleh salah satu majalah nasional.
Namun, namanya mulai menyedot perhatian publik saat dia mengerjakan film Obama Anak Menteng yang mengisahkan tentang masa kecil Presiden AS Barack Obama di Jakarta. Film yang dirilis pada 2010 itu memancing ketertarikan media-media internasional seperti CNN dan Huffington Post.
Kini, pria yang mengambil master di bidang bisnis internasional di salah satu universitas di Australia itu, telah menyelesaikan 75 fi lm, baik yang rilis maupun yang masih berada di ruang editing, selama 7 tahun petualangannya di dunia sinema Indonesia.
“Siapa bilang bikin fi lm itu susah? Selama sudah menemukan sistem yang tepat, merilis 3-4 judul fi lm dalam setahun bukan hal yang tidak mungkin,” kata Damien.
Sistem tepat yang dia maksud adalah merangkap jabatan yang bisa dirangkap dan tidak terlalu idealis dengan teknik kamera yang sebenarnya masih bisa diakali di ruang editing.
Dalam fi lm L4 Lupus (2011), misalnya, dia bahkan sempat merangkap sampai 14 jabatan. Dia berandai-andai, jika saja sistem perilisan fi lm di Indonesia pro dengan fi lm-fi lm nasional, dalam setahun bisa saja ada belasan fi lm yang bisa dia rilis di pasaran.
“Sistem antrean rilis film di bioskop kita sedikit tidak adil, masa harga tiket untuk fi lm lokal yang dananya cuma Rp3 miliar harus disamakan dengan film Hollywood yang budget-nya Rp1 triliun?” keluh Damien.
Dia mengungkapkan sebenarnya membuat fi lm di Indonesia itu lebih banyak ruginya daripada untungnya, apalagi kalau tema-temanya sosial dan tidak komersial.
Meskipun demikian, dia tetap bersikukuh untuk tidak berhenti membuat film-film dengan tema nonkomersil tadi. Dalam pandangannya, fi lm, sebagai media audio visual, memiliki kemampuan untuk memengaruhi cara berpikir masyarakat dengan sangat halus.
Soal dana untuk fi lm nonkomersial tadi, Damien menggunakan prinsip subsidi silang, yakni menggunakan sisa keuntungan dari fi lmnya yang komersil, ditambah sisa dari penjualan novelnya, serta bantuan dari berbagai pihak yang diajak bekerja sama.
“Saya tidak percaya bikin film itu mahal, yang dibutuhkan cuma niat. Tapi jangan juga menganggap fi lm sebagai ladang mencari duit, karena hidup tidak beraturan, penghasilan juga tidak beraturan. Kalau mau kaya, bikin sinetron saja,” paparnya.
Biaya pembuatan fi lm di Indonesia sendiri, menurut Damien, sekitar Rp1 miliar untuk yang paling low-budget, dan bisa mencapai Rp20 miliar-Rp30 miliar untuk yang bertema kolosal.
Damien saat ini memegang 13 rekor dunia, antara lain sebagai penulis tercepat di dunia, penulis novel yang diterbitkan tercepat didunia, fotografer tercepat di dunia, pelukis tercepat di dunia, penulis buku tertebal di dunia, dan pembuat fi lm tercepat di dunia dari skenario sampai premier dalam 9 hari 17 jam dan 45 menit untuk fi lm Dream Obama.
Untuk tahun ini, dia tengah menyiapkan tiga film untuk rilis antara lain I am Star yang berkisah tentang anak-anak autis dan sebuah fi lm kolosal yang menceritakan soal Raden Wijaya dan sejarah berdirinya Ke rajanan Majapahit. “Saya tidak tahu sam pai kapan saya akan berkecimpung terus di dunia fi lm, yang jelas sekarang saya belum me rasa ini saatnya untuk mengucapkan per pisahan,” katanya.