Bisnis.com, JAKARTA - Kaki diabetik merupakan komplikasi diabetes yang paling ditakuti penyandang diabetes melitus, karena tingginya risiko terjadinya amputasi dan juga dapat mengancam jiwa.
Penyandang diabetes bahkan berisiko kembali mengalami luka lain, sehingga harus diamputasi lagi.
“Kejadian amputasi dapat dihindari melalui deteksi dini secara teratur, sebelum luka muncul. Sebab, luka yang awalnya hanya kecil jika tidak ditangani akan menimbulkan infeksi,” kata Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Dokter Imam Subekti, di Jakarta, Rabu (30/10/2013).
Menurut dia, tingginya kadar gula dalam darah penyandang diabetes merupakan sarana bagi kuman dan dapat menyebabkan memburuknya infeksi tersebut. Namun apakah pada semua kelainan kaki diabetik harus dilakukan amputasi?
"Saat ini dunia kedokteran melakukan berbagai upaya penyembuhan luka (wound healing), sehingga mampu menurunkan risiko amputasi sampai sekitar 85%,” katanya saat menjelaskan tentang Kongres ASEAN Federation of Endocrine Societies (AFES) ke -17, yang akan diselenggarakan di Jakarta, 13-16 November mendatang.
Dokter Em Yunir, Kepala Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI/RSCM, menambahlan kelainan kaki diabetik terjadi akibat gula darah tidak terkontrol dalam jangka panjang. Jika keadaan ini berlangsung dalam lama, maka akan terjadi kerusakan syaraf (neuropati diabetik), dan gangguan pembuluh darah.
Rusaknya syaraf, katanya, menyebabkan penyandang diabetes tidak lagi dapat merasakan panas atau dingin, sakit dan lainnya pada tangan dan kaki. Gejala yang sering dirasakan adalah baal dan lemah pada kaki dan tangan.
Adapun kerusakan pada pembuluh darah akan menyebabkan penyempitan atau sumbatan pada pembuluh darah, sehingga mengganggu aliran darah ke tungkai.
Menurut dia, adanya gangguan aliran darah ke kaki, akan sulit sembuh dan mudah mengalami infeksi. Gangguan ini lazim dikenal dengan penyakit pembuluh darah perifer (Peripheral Arterial Disease atau PAD). Kelainan pembuluh darah kaki ini sebenarnya akan menimbulkan rasa nyeri pada saat melakukan aktivitas.
Namun, lanjutnya, pada orang dengan diabetes akibat kerusakan system saraf, rasa nyeri yang muncul sering tidak dirasakan atau tanda gejala, sampai saat kondisi yang sedemikian parah baru menimbulkan keluhan, seperti luka yang tidak sembuh dan kaki dingin, otot-otot kaki yang menciut, dan lainnya. “Di pihak lain, kerentanan tubuh penyandang diabetes memperburuk risiko luka dan infeksi menjadi sukar sembuh dan meluas,” ujarnya.
Prevalensi PAD pada pasien diabetes menurut data di 7 wilayah Asia (termasuk Indonesia) adalah 17,7%. Indonesia tercatat memiliki 11.883 PAD pasien per 1 juta pasien diabetes.
Dia mengatakan studi observasi di RSCM pada 2012 menemukan bahwa 29,8% dari 47 pasien rawat inap dengan kaki diabetik menderita PAD. Namun sayangnya, saat ini belum ada panduan untuk manajemen PAD pada diabetes khususnya di Indonesia.
“PAD sebenarnya hanya salah satu aspek penyebab munculnya masalah pada kaki diabetik. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor infeksi, kendali gula darah yang buruk, gangguan syaraf tepi, perawatan luka. Juga edukasi pasien yang kurang, sehingga menyebabkan sering terlambatnya pasien mencari pertolongan ke tempat yang tepat,” ungkap Yunir.
Infeksi kaki diabetik jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan gangren menjadi semakin luas dan berat, jaringan di sekitar luka akan mati (nekrotik) dan membusuk dengan warna kehitaman, sehingga tidak dapat diselamatkan.
“Kondisi lainnya yang juga sering terjadi adalah adanya gangguan syaraf tepi yang menyebabkan penyandang diabetes yang pada awalnya hanya luka ringan, karena tidak menimbulkan keluhan sering terlambat dibawa ke dokter atau ke rumah sakit. Amputasi dan kematian dapat terjadi seiring dengan memburuknya keadaan ini,” tambahnya.