Bisnis.com, JAKARTA - Nama Hamdan Zoelva mulai dikenal luas oleh publik sejak dia menggantikan posisi Akil Mochtar sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, sebetulnya sepak terjang pria asal Bima ini di dunia hukum dan politik telah dimulai jauh sebelum itu.
Buku Pergulatan Konstitusi Hamdan Zoelva merekam jejak pria yang memiliki nama kecil Budi dari Parado Rato ini sejak masa kecil, menitir karir sebagai pengacara, politikus, anggota DPR, hingga menjadi Ketua MK.
Rita Triana Budiarti selaku penulis menyusun episode demi episode kehidupan Hamdan secara tertib dan detail ke dalam 28 bab.Membaca judulnya, tentu saja, pembaca akan langsung teringat peristiwa MK yang diguncang prahara kasus penyuapan Akil Mochtar yang kala itu menjabat sebagai Ketua.
Peristiwa yang meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum tertinggi itu pun menjadi konflik sekaligus bagian puncak cerita paling seru dalam buku ini.
Menggunakan sudut pandang orang pertama, penulis membuka bukunya dengan mengisahkan masa kecil Hamdan di tanah Nusa Tenggara Barat.
Latar belakang keluarga yang memiliki tradisi santri dan perjalanannya mengemban pendidikan agama dari sekolah hingga perguruan tinggi, digambarkan sebagai pondasi integritas seorang Hamdan sebagai seorang manusia, yang kelak berperan penting saat menjalankan profesinya sebagai hakim.
Bab I yang berjudul Dari Memilih Menjadi Terpilih menceritakan secara singkat perjalanan Hamdan sejak menjadi pengacara, politisi Partai Bulan Bintang (PBB), anggota DPR RI, hingga kontribusinya dalam pembentukan MK.
Dengan membaca seksama bab pertama ini, pembaca akan diajak untuk menyelami sejarah asal mula terbentuknya MK di Indonesia, lengkap dengan landasan hukum dan prosesnya.
Bab II dan III lebih banyak menceritakan tentang masa-masa awal pembentukan MK, bagaimana MK menangani kasus dan macam-macam kasus yang dihadapi.
Penulis menguraikannya dengan detil, termasuk payung hukum yang melandasi dan prosedur penanganan kasus oleh MK.
Sejenak, pembaca akan lupa bahwa buku ini adalah biografi seorang tokoh karena bab ini memaparkan porsi prosedur penyelesaian hukum jauh lebih banyak ketimbang uraian tentang sisi humanis sang tokoh.
Selayaknya novel, buku ini juga memiliki unsur dramatik. Konflik pertama yang cukup signifikan diceritakan pada Bab VIII, ketika Akil yang menjabat sebagai Ketua MK saat itu ditangkap oleh petugas KPK atas tuduhan penyuapan.
Hamdan yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua MK digambarkan sangat terpukul dan kelabakan menghadapi situasi tak terduga itu. Di sini, pembaca akan mulai menikmati tulisan penuh deskripsi dan tak lagi kering.
Penulis mulai menambahkan latar suasana dan emosi sang tokoh sehingga pembaca ikut larut dalam suasana menegangkan itu. Hamdan, yang kemudian menggantikan posisi Akil sebagai Ketua MK, digambarkan sebagai orang yang paling bertanggungjawab memulihkan wibawa publik kepada MK.
Setelah berhasil melewati masa krusial, MK kembali dihadapkan pada ujian berat, yaitu sengketa Pilpres 2014.
Mengenai hal ini, Hamdan bahkan mengatakan bahwa sengketa pilpres itu adalah perkara paling berat yang pernah ditangani. Bukan karena materi gugatannya, tetapi nuansa politiknya yang begitu tinggi.
Buku yang dirilis bertepatan dengan akhir masa jabatan Hamdan pada Januari 2015 ini akan memberikan banyak pelajaran bagi pembaca. Tak hanya soal sosok Hamdan yang menginspirasi, tetapi juga wawasan konstitusional di tanah air.
Buku ini cocok bagi Anda yang berkecimpung di bidang hukum, maupun yang rajin mencermati kasus politik di Tanah Air. Selamat membaca!