Kabar24.com, JAKARTA--Ada alasan mengapa keris didapuk dengan titel Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh UNESCO pada November 2005.
Pusaka Nusantara itu merupakan saksi sejarah pembentukan strata sosial dalam masyarakat adat bangsa ini.
Sejarahwan kerissekaligus budayawan dan seniman asal BaliPande Wayan Suteja Neka mengatakan kelekatan keris dengan kultur bangsa tidak hanya mendarah daging di Jawa.
Di Pulau Dewata, keris pun dilestarikan sebagai pusaka sakral dan bagian dari tradisi.
Pendiri Museum Neka Ubud yang lahir pada 1939 itu menjelaskan secara historis keris Bali merupakan cerminan dari kekuatan ekspansi kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, khususnya Kerajaan Majapahit.
Pada era modern, lanjutnya, fungsi keris pun beralih dari senjata menjadi pengayom. Itulah sebabnya, masyarakat adat di Bali tidak pernah lupa menyematkan keris dalam setiap kegiatan. Pande-pande penempa keris pun terus dilestarikan hingga sekarang.
Empu-empu keris di Bali tersebar di beberapa daerah, seperti Kusamba Klungkung hingga Denpasar. Sebenarnya, di setiap kabupaten ada dan dilestarikan, karena keris adalah bagian dari kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Bali, kata Neka kepadaBisnis.
Neka menjelaskan sejarah perkerisan di Bali sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di daerah lain di Nusantara. Di provinsi beribukota Denpasar itu, seni menempa keris telah berkembang sejak 1343, yaitu ketika Bali ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit.
Karena penaklukkan oleh Majapahit itu, di Bali banyak raja-raja yang datang dari Jawa. Mereka turut serta membawa empu-empunya ke Bali, tutur pria yang pernah dua kali meraih penghargaan dari Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) itu.
Dari situlah lantas para penempa dan empu-empu yang sudah ada di Bali bergabung dengan empu-empu yang datang dari Majapahit. Sejak saat itu, berkembanglah tradisi empu keris di Bali sampai saat ini. Jadi, sebenarnya keris Bali banyak dipengaruhi oleh gaya Majapahit.
Bagaimanapun, terdapat berbagai perbedaan mencolok dari seni menempa keris antara di Bali dengan di Jawa. Menurut pria yang juga dinobatkan dengan gelar Jejeneng Mpu Keris (JMK) itu, empu-empu atau maestro keris asli di Jawa sudah sangat jarang dan hampir punah.
Beberapa karya terakhir keris Jawa asli misalnya dibuat oleh Ki Empu Djeno Harumbrodjo dari Yogyakarta. Selain itu, ada pula Empu Sukamdi dari Surakarta. Sementara itu, di Bali, empu-empu keris sampai saat ini masih lestari dan bertahan di banyak daerah.
Perbedaan lain dari keris Jawa dan Bali tentunya dari segi fisik. Neka menjelaskan perbedaan utama terletak pada ukuran, yang mana keris Jawa cenderung lebih kecil. Namun, hiasan pada keris Bali relatif lebih artistik karena dikombinasikan dengan ukir-ukiran khas Bali.
Keris Jawa, selain ukurannya lebih kecil,danganan[pegangan]-nya juga cenderung polos. Keris Bali ada yang namanya keris Gerantim, ada yang bentuknya patung Togog, ada juga yang seperti ulat yang akan menjadi kupu-kupu alias kepompong, tuturnya.
FUNGSI SOSIAL
Bagi masyarakat Bali sendiri, keris memiliki peran dan fungsi sosial yang cukup krusial. Pada zaman kerajaan, atau sebelum ada museum, keris tentunya digunakan sebagai senjata dalam pertempuran.
Namun, setelah zaman itu berakhir, keris lebih banyak dipakai sebagai penjaga, pengamong, dan untuk upacara adat. Setiap keris yang digunakan untuk upacara adat di Bali selalu dipasupati atau disakralkan.
Banyak upacara adat di Bali menggunakan keris, terutama untuk perkawinan. Pasti harus pakai keris. Pengantin laki-laki harus membawa keris. Upacara-upacara dengan pakaian kebesaran Bali juga harus menyertakan keris, kata Neka.
Selain itu, keris Bali juga memiliki andil dalam pembentukan strata sosial, khususnya pada zaman kerajaan. Itulah yang menjelaskan mengapa terdapat perbedaan jenis dan bentuk keris untuk golongan masyarakat tertentu.
Biasanya, keris yang digunakan oleh kerajaan memilikidangananyang berbentuk patung Togong dan terbuat dari emas. Pada masyarakat jelata,danganan-nya hanya berbentuk bonggolan biasa.
Tidak hanya berdasarkan bentuknya, kemampuan keris dari masing-masing strata juga berbeda-beda. Terlihat jelas, bahwa keris yang bernilai tinggi dan dianggap paling sakti adalah bekas milik bangsawan.
Ditilik dari jenisnya, keris Bali serupa seperti keris Jawa, yaitu yang berbentuk lurus dan yang memilikiluk(liukan). Keris yang lurus memiliki makna hati yang lurus, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta tidak mudah tergoda.
Sementara itu, keris yang ber-lukmemiliki filosofinya bagaikan ular mengejar katak. Artinya, di dalam hidup ini setiap orang harus memiliki tujuan tertentu atau cita-cita yang akan dituju.
Dalam menentukan nilai keris sebagai warisan bendawi kebudayaan bangsa, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, baik dari segiwangun, komposisi besi dan baja, polapamor-nya, maupun nilai garap atau kerapiannya.
Pada keris Bali, polapamordalam keris dilihat dari guratan-guratan yang ada di bilahnya. Ada yang berbentuk abstrak maupun figuratif, tergantung dari hasil penempaan yang berulang-ulang dan dilipat-lipat dari bahan besi, baja, dan nikel alami.
Kalau untuk keris-keris kuno, yang diakui aspeknya adalah berdasarkan nilai sejarah, seni, sosial, simbolis, teknologi, tradisi, filosofi, dan mistik. Mistik itu tidak dapat dipisahkan dari budaya perkerisan, karena itu menyangkut keyakinan, kata Neka.
Untuk menguji apakah sebuah keris benar-benar asli dibuat empu dan bernilai tinggi atau tidak, dapat dilihat dariwangun,polapamor, serta tang ting dan ting ting-nya. Dari situ akan terlihat apakah keris tersebut benar-benar kuno atau diaku-aku sebagai barang kuno.
Ting ting itu bunyinya. Kalau tidak bagus, tidak akan nyaring. Kalau bisa nyaring itu adalah karena kematangan penempaannya. Tang ting itu keseimbangannya. Kalau bagus, pasti bisa berdiri tanpa dipegangi. Jadi, keris yang bisa berdiri itu bukan karena ilmu hitam.
Neka menambahkan banyaknya orang yang mengeramatkan keris tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan individu. Namun, harus diakui, pada masyarakat adat Bali, keris selalu diperlakukan istimewa dan didoakan.
Misalnya, saat upacara Pakaian Gede atau perkawinan, maupun saat ada bangunan yang baru didirikan. Keris kerap kali digunakan bersamaan dengansesajen, dengan harapan agar bangunan tersebut selamat.
BANYAK KOLEKSI
Neka sendiri telah mengoleksi keris Bali sejak 1970. Sebab, dia mengaku leluhurnya yang bernama Pande Panedeng adalah seorang empu keris dari Kerajaan Ubud abad XIX. Jadi, secara silsilah saya sudah lama bergelut dengan keris karena leluhur saya adalah empu.
Saat ini, dia memiliki kurang lebih 300 keris, yang teridir dari 27 bilah keris dari kerajaan-kerajaan Bali, 100 keris kuno, dan sisanya adalah keris Kamardikan yang dibuat setela Indonesia merdeka dari pembuat keris yang ada di Madura, Jogja, dan Solo.
Koleksi-koleksinya itu dikurasi oleh pakar keris Sukoyo Hadi Negoro dari Surabaya guna memastikan apakah keris-keris tersebut layak dikoleksi dan diteliti di museum atau tidak. Jadi, semua yang saya koleksi adalah hasil seleksi dari kurator keris.
Dari sekian banyak koleksinya, Neka mengaku miliknya yang paling berharga adalah sebuah keris dari abad XXIII, yang berasal dari Karangasem di Bali Timur. Ada juga keris Ki Gagak Pethak dari Buleleng.
Saat ini, semakin maraknya kolektor keris dari generasi muda adalah sebuah pertanda bagus. Karena, seperti saya bilang, keris adalah bagian dari budaya yang disahkan UNESCO. Di Bali malah sering sekali ada pameran-pameran keris.
Dia menambahkan penggemar keris di Pulau Dewata semakin bertambah banyak sejak pengukuhan dari UNESCO pada November 2005 itu. Bahkan, imbuhnya, setiap kali ada pertemuan di desa-desa, para pria diwajibkan membawa kerisnya.
Mungkin ada baiknya, keris tidak lagi dipandang semata-mata sebagai jimat yang dipelihara oleh penimba ilmu metafisik. Pada kenyataannya, keris adalah sebuah karya seni sakral yang merfleksikan sebuah peradaban yang agung, yang pernah hidup di Nusantara.