Hanafi mungkin saja menyajikan sesuatu yang remeh tetapi itu sebenernya adalah Jawa. /bISNIS.COM
Show

Jawa di Mata Seorang Hanafi

Tisyrin Naufalty Tsani
Minggu, 27 Maret 2016 - 02:40
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Apa yang terbayang jika mendengar kata Jawa? Batik? Wayang? Lewat pameran tunggal Hanafi Muhammad bertajuk Pintu Belakang | Derau Jawa, para penikmat seni dapat melihat Jawa dari sisi yang berbeda.

Pameran yang telah berlangsung pada Maret di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta cukup mendapatkan apresiasi mendalam dari para pencinta seni rupa.

Salah satu karya Hanafi yang dipamerkan adalah lukisan berjudul Wedhus Gembel and The Body of Java (acrylic on canvas, 2016), yang menggambarkan dahsyatnya letusan gunung berapi. Awan putih yang sangat tebal bergerombol menutupi bagian atas gunung. Sementara itu, dari dalam gunung nampak lahar yang berwarna jingga. Awan panas yang keluar saat gunung meletus itu disebut wedhus gembel. Menurut Hanafi, lukisan ini terinspirasi dari peristiwa meletusnya Gunung Merapi. Kokohnya Gunung Merapi semakin tergambar jelas lewat ukuran lukisan yang cukup besar yaitu 246x883 cm.

Berikutnya, karya instalasi Clogs and a Baby Stroller (plate, wire warm, 150 wooden clogs, 2016) memperlihatkan 150 bakiak yang tersusun dari bawah hingga bagian atas sebuah piramida. Bagi Hanafi, karya itu terinspirasi dari bapaknya atau anggota keluarga lain yang biasa menggunakan bakiak untuk salat ke langgar atau masjid, saat jalan setapak belum ada di kampungnya. Bakiak biasanya akan tersangkut saat digunakan di tanah yang basah.

Fenomena Sosial

Secara tak sengaja, seniman kelahiran Purworejo, 5 Juli 1960 itu meletakan bakiak bertuliskan muji harto di bagian paling atas. Muji harto dapat diartikan sebagai memuja harta. Dia melihat itu sebagai pertanda bahwa pada zaman sekarang, manusia lebih mementingkan harta khususnya bagi mereka-mereka yang berada di kekuasaan tertinggi.
Menilik karya lainnya Headaches-Fever (alumunium 60 pieces, 2016), terdiri dari susunan bulatan menyerupai obat berbentuk tablet dari alumunium yang bertuliskan Bayer, perusahaan pelopor produksi obat modern di Indonesia. Kala produknya bermunculan di pasaran, keberadaan jamu yang merupakan ramuan khas Jawa semakin tergeser.

Hanafi juga mencoba berbagi cerita tentang enthung atau kepompong yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa dapat menjadi petunjuk alam. Lewat beberapa lukisan yang berjudul Bade Tindak Pundi Nopo (acrylic on canvas, 2016), terlihat berbagai posisi enthung yang menggambarkan arah-arah tertentu yaitu lor (utara), kulon (barat), kidul (selatan), dan wetan (Timur).

Seseorang kerap mengalami kebingungan kemana harus melangkah, maka enthung dipercaya dapat membantu mengambil keputusan.

Jawa di Mata Seorang Hanafi

Karya Tak Lelo Lelo Ledung  (mix media. Acrylic on canvas, tempat tidur, kelambu, audio nyanyian Tak Lelo Lelo Ledung, speaker MP3, dan batu hebel, 2015) terdiri lukisan bergambar pepohonan yang sudah ditebangi di sebuah lingkungan tandus. Aroma ikan asin tercium dari sebuah tempat tidur yang diletakan tak jauh dari lukisan. Rupanya seniman yang lahir di Purworejo Hanafi menempatkan ikan asin sungguhan di sana. Ikan asin bagi Hanafi menggambarkan keprihatinan akan laut yang tercemar.Tak hanya itu, lagu Tak Lelo Lelo Ledung  juga terdengar oleh siapapun yang tengah menikmati karya tersebut, sebuah lagu yang mengajak untuk menjaga bumi.

Bagi para pengunjung pameran tunggal Hanafi kali ini, harus masuk melalui pintu belakang galeri, bukan melalui pintu depan. Di Jawa, orang-orang yang masuk ke rumah orang lain melalui pintu belakang artinya dia memiliki kedekatan dengan pemilik rumah. Pintu belakang dipakai untuk mengurus hal-hal yang bersifat informal seperti urusan pinjam-meminjam barang. Namun saat ini, rumah-rumah di perkotaan rata-rata tak memiliki pintu belakang.

Menurut Kurator Agung Hujatnikajennong, ide utama dalam pameran Hanafi adalah tentang noise atau derau yaitu semacam suara yang tidak diinginkan. Sang seniman mengasah ide tentang sesuatu yang mengganggu, setelah berkeliling ke beberapa daerah di Jawa. Karya-karyanya lahir dari sesuatu atau proses yang diamati. Agung mengatakan Hanafi terlihat lebih serius untuk memahami apa itu Jawa. “Hanafi mungkin saja menyajikan sesuatu yang ‘remeh’ tetapi itu sebenernya adalah Jawa,” tuturnya.

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Minggu (27/3/2016)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro