Pada 24 Agustus 70 M, Gunung Vesuvius di Italia meletus. Awan panas dan tumpahan piroklastik atau batuan yang berasal dari material vulkanik mengubur lima kota berikut masyarakat di sekitar gunung yakni Herculaneum, Oplontis, Boscoreale, Pompeii, dan Stabia.
Pada awal abad XVII, para arkeolog mulai melakukan penggalian di kawasan bencana, dan menemukan teater Herculaneum. Hingga kini, penggalian para arkeolog terus berlanjut hingga ke kota Pompeii. Temuan berupa artefak, dan jasad manusia yang membantu mulai menyingkap tabir mengenai kisah masyarakat yang tinggal di lima kota yang dekat dengan Teluk Naples ini.
Arkeolog Universitas Naples Federico II Pier Paolo Petrone menuturkan, saat letusan pertama terjadi, masyarakat berlari ke arah pantai untuk menyelamatkan diri. Upaya tersebut sia-sia saja. Gelombang awan panas dan abu dari letusan gunung membunuh orang-orang tersebut, termasuk orang-orang yang berada di dalam kapal.
Hal itu terlihat dari temuan 12 artefak perahu yang mengarah ke laut. Dari total artefak perahu yang ditemukan, tiga kapal berisi 80 kerangka manusia yang membatu. “80 kerangka manusia di kapal itu merupakan bagian dari 350 pengungsi yang berlindung ke pantai,” tuturnya dalam diskusi yang berlangsung di Istituto Italiano di Cultura Jakarta.
Paolo mengatakan, jasad manusia yang membatu itu menunjukkan bahwa korban meninggal seketika sengatan panas yang sangat tinggi, dan buka mati lemas seperti perkiraan awal. "Semburan cepat gelombang piroklastik ke kota Herculaneum, Oplontis dan Pompeii menyebabkan kematian seketika, karena terpapar suhu tinggi berkisar 300 ° C hingga 600 ° C," ujarnya.
DAMPAK LETUSAN
Tingginya suhu membuat daging manusia menghilang, dan digantikan oleh abu vulkanik yang cepat mengeras. Tidak mengherankan jika jasad manusia yang membatu ditemukan dengan postur yang beragam.
Patrone mengatakan, berdasarkan penelitian terdapat perbedaan untuk jasad manusia yang berada di kota terdekat dan yang terjauh. “Untuk lokasi kota terdekat yakni Herculaneum dan Oplontis yang berjarak sekitar 7 kilometer dari gunung berapi, suhu panas menguapkan daging tubuh di beberapa tempat, sehingga kurang merata dan hanya meninggalkan tulang,” katanya.
Sementara itu, untuk kota terjauh yang berjarak 10 kilometer seperti Pompeii, paparan panas lebih rendah sehingga endapan abu vulkanik lebih tipis sehingga proses pengerasan tubuh korban lebih merata, dan jasad masih terlihat bentuknya secara sempurna.
Dia menambahkan, ekspresi wajah korban yang ditemukan di Pompeii menunjukkan hal yang mengerikan dan menyakitkan. Menurutnya, korban Pompeii sangat mirip dengan letusan terbaru dari beberapa gunung di seluruh dunia seperti Gunung Pelee, Gunung Merapi, Gunung Sinabung, dan Montserrat. "Semua ini adalah peringatan tentang risiko orang-orang yang tinggal di daerah vulkanik," jelasnya.
Arkoleolog sekaligus pengajar di Universitas Udayana Bali Michele Raddi mengatakan, Pompeii merupakan kota yang memiliki peradaban cukup tinggi. Kota ini, tambahnya, memiliki beragam bangunan dengan konsep yang sangat maju pada saat itu.
Masyarakat Pompeii membangun ruang-ruang publik dan vila-vila mewah. Di bidang seni, masyarakat Pompeii dikenal terampil dalam melukis. Terlihat beberapa artefak dan relief mozaik di di dinding dan lantai di beberapa reruntuhan gedung bernilai seni tinggi. Motif alam, manusia, hewan, dan dewa menjadi objek karya seni masyarakat Pompeii. "Setelah letusan [gunung] Pompeii sudah habis. Pompeii hancur, tetapi cerita luar biasanya untuk kemanusiaan telah dimulai," pungkasnya.