Bisnis.com, JAKARTA -- Para arsitek lokal dianggap belum jadi tuan rumah di Indonesia . Orang Indonesia dinilai lebih percaya pada arsitek asing untuk merancang sebuah bangunan.
Anggapan arsitek tak lebih tukang gambar perlahan-lahan mulai hilang. Seiring waktu, masyarakat menghargai profesi tersebut. Di tengah-tengah kabar gembira tersebut, arsitek-arsitek tersebut membutuhkan ruang lebih banyak lagi untuk meningkatkan kualitasnya.
Arsitek Cosmas D. Gozali melihat arsitek-arsitek lokal belum dilirik oleh klien-klien di Indonesia. Klien-klien tersebut masih mengaggap arsitek-arsitek asing memiliki daya jual.
Berdasarkan pengalamannya, jika klien dihadapkan dengan arsitek-arsitek asing, mereka tidak mempersoalkan harga mahal.
Namun, berhadapan dengan arsitek-arsitek lokal, klien-klien tersebut menganggap mahal harga jasa arsitek lokal. Padahal, harga arsitek lokal tak semahal arsitek asing.
Beberapa waktu lalu, Cosmas mengaku ada klien dari Hong Kong ingin membuat bangunan di Indonesia. Dia mengingatkan kepada kliennya itu ketika membangun di Indonesia harus memanfaatkan jasa arsitek lokal.
Baca Juga Foto-foto 'Manusia Luat' Versi Tulus |
---|
Saat klien tersebut disodorkan tarif jasa arsiteknya, mereka menganggap harganya murah.
"Tiga hari kemudian saya berhadapan dengan calon klien orang Indonesia. Dia malah bilang wah Pak Cosmas harganya terlalu mahal. Itulah orang kita belum apresiasi kerja arsitek," tutur Cosmas kepada Bisnis belum lama ini.
Cosmas juga melihat ketika merancang master plane, para klien lebih memilih menggunakan jasa arsitek asing. Jadinya, kota-kota yang dirancang mengikuti karakter kota-kota di negera seberang. Padahal, belum tentu kota tersebut tanggap terhadap berbagai persoalan lingkungan maupun sosial di Indonesia.
"Akhirnya jadi kota seperti di Amerika atau Australia," ujar Cosmas.
Cosmas percaya hasilnya akan berbeda bila master plan dirancang arsitek-arsitek lokal karena mereka memahami kondisi di Indonesia. Arsitek-arsitek asing belum tentu mengetahui persoalan di Indonesia. Praktis ketika dibangun, bangunan-bangunan tersebut tak tanggap terhadap berbagai isu-isu lokalitas.
Dia mencotohkan bangunan-bangunan mal di Jakarta. Saat mal di bangun, seiring waktu di sekitarnya akan berdiri pedagang-pedagang kaki lima. Sementara pegawai-pegawai toko di mal belum tentu makan di food court.
Mereka akan mencari tempat makan lebih murah. Sedangkan tempat makan itu ada di pedagang kaki lima yang berada di luar gedung mal. Akhirnya pegawai itu harus keluar guna mencari makan sehingga menghabiskan waktu istrihat cukup. Bagi Cosmas hal tersebut tidak efisien.
Pemilik Atelier Cosmas Gozali itu mengungkapkan, jika dia yang merancang mal, maka akan disediakan tenant-tentang untuk kaki lima di dalamnya. Tujuannya agar para pegawai tidak lagi perlu berlama-lama hanya untuk mencari makan. Para pemilik toko dapat memangkas waktu istirahat para pegawainya.
Jika efisien maka pemilik toko-toko tak harus mengeluarkan ongkos banyak karena pegawainya tidak efisien. Kondisi tersebut terjadi bila arsitek-arsitek lokal yang merancang bangunan tersebut karena mereka lebih memahami kondisi tanah airnya sendiri.
"Persoalannya apakah klien tersebut mau," ujar Cosmas.
Mendapati fakta tersebut, Cosmas mengamati ada dua hal penyebab para klien lebih memilih arsitek-arsitek asing untuk proyeknya. Pertama, arsitek-arsitek lokal belum berkualitas sehingga para klien enggan meliriknya. Kedua, ada pola pikir yang terbentuk di masyarakat bahwa hal-hal berbau asing dianggap lebih baik dan menjual.
Oleh sebab itu, Cosmas berpesan kepada arsitek-arsitek muda untuk membekali kompetensi mereka lebih baik lagi agar para klien tertarik menggunakan jasanya. Kepada para pengembang, Cosmas juga berpesan agar mereka memberi kesempatan kepada arsitek-arsitek lokel untuk berkarya.
"Kalau pengembang tidak pakai arsitek lokal, bagaimana kami mau berkembang."