Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memperkirakan bahwa hampir 70% anak berkebutuhan khusus tidak memperoleh pendidikan yang layak.
Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 menyebutkan bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia adalah sebanyak 1,6 juta orang. Artinya, satu juta lebih ABK belum memperoleh pendidikan yang penting bagi kehidupannya.
Dari 30% ABK yang sudah memperoleh pendidikan, hanya 18% di antaranya yang menerima pendidiikan inklusi, baik dari sekolah luar biasa (SLB), maupun sekolah biasa pelaksana pendidikan inklusi.
Rendahnya jumlah ABK yang memperoleh pendidikan disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari kurangnya infrastruktur sekolah yang memadai, kurangnya tenaga pengajar khusus, dan juga stigma masyarakat terhadap ABK.
Slamet Tohari, dosen dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, mengatakan bahwa sebenarnya regulasi menetapkan aturan bahwa setiap kecamatan harus menerima ABK untuk mendapatkan pendidikan.
“Kesulitannya adalah kecamatan di Indonesia sangat bervariasi jumlahnya, dan setiap daerah mempunyai kondisi yang berbeda,” kata Slamet kepada Bisnis.com baru-baru ini.
Tidak hanya itu, menurut Slamet, persoalan yang paling besar bukanlah soal jumla sekolah inklusi, tetapi semua sekolah seharusnya bersifat inklusif. “Karena setiap orang berhak mendaftar dan mengikuti pendidikan di manapun tanpa halangan, termasuk juga ABK,” ujarnya.
Memang, upaya pemerintah juga dinilai masih setengah-setengah dalam hal ini. Slamet mengatakan bahwa regulasi yang berlaku juga belum memiliki punishment, bahkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk ABK belum dikeluarkan hingga saat ini. Selain itu, standar dan indeks inklusi juga belum ada di Indonesia.
Dari keluarga yang memiliki anggota keluarga ABK juga perlu menyadari pentingnya pendidikan bagi ABK. Dalam hal ini memang dibutuhkan penerimaan terlebih dahulu dari orang tua dan keluarga mengenai anggota keluarga yang berkebutuhan khusus.
“Harus legowo dan tidak boleh denial,” kata Slamet.
Hal ini penting karena orang tua dari ABK terkadang juga masih menjadi pengalang ABK untuk menerima pendidikan. Menurut Slamet sebagian orang tua dari ABK memiliki literasi dan disability awareness yang kurang.
Keluarga seharusnya menjadi orang yang berperan paling aktif dalam pendidikan ABK karena keluarga yang paling mengetahui sejarah dan latar belakang ABK.
“Sayangnya terkadang keluarga tidak jujur ataupun denial dengan kondisi anaknya, sehingga ketika hasil pendidikan tidak memuaskan, mereka tidak terima,” kata Slamet.