Bisnis.com, JAKARTA - Kematian bintang K-Pop Sulli telah mengungkap sisi gelap industri hiburan yang mendorong fanatisme global itu. Kematiannya juga menjadi pemecah tabu yang jarang terjadi di dunia di mana setiap bintang K-pop berada di bawah pantauan ketat manajemen.
Sebelum kematiannya, Sulli, yang memiliki nama asli Choi Jin-ri berbicara keras menentang perundungan dunia maya. Menurut polisi, Sulli menderita depresi berat. Rekan-rekan dan para ahli mengatakan kematian bintang K-Pop di usia 25 itu mengungkapkan rentetan komentar online bernada sarkas yang dihadapi sang bintang.
"Dia bukan pembuat masalah, tetapi saya berharap dia akan dikenang sebagai aktivis hak-hak perempuan yang bersemangat bebas, yang benar-benar dapat berbicara dalam benaknya," kata Kwon Ji-an, sesama penyanyi dan pelukis Korea Selatan, dilansir Reuters, Kamis (17/10/2019).
Penampilan terakhir Sulli di depan umum adalah dalam program televisi saat para bintang K-pop berbicara tentang pengalaman mereka atas komentar online yang jahat.
Kwon, yang lebih dikenal dengan nama panggung Solbi, juga dipermalukan di dunia maya pada tahun 2009. Itu terjadi saat dia menjadi anggota kelompok K-pop Typhoon, setelah diidentifikasi secara keliru dalam video seks yang menjadi viral.
Insiden itu memicu depresi hebat, fobia sosial, dan gangguan panik. Dia mencari terapis dan belajar melukis, sebagai cara untuk bertahan hidup. Akhirnya Kwon menjalani karier lain.
"Saya terlalu muda dan belum dewasa secara sosial untuk mencerna semua glamor dan perubahan di lingkungan, dan tidak ada pengobatan sendiri," kata Kwon.
Kwon menyerukan perubahan dalam budaya komentar anonim di Internet. Di Korea Selatan, portal web lokal seperti Naver dan Daum adalah saluran utama berita, yang memungkinkan pengguna meninggalkan komentar tanpa mengungkapkan nama asli mereka.
Setelah kematian Sulli, para penggemar berbondong-bondong berunjuk rasa di Gedung Kepresidenan. Mereka mengajukan petisi, mendesak pengadopsian sistem komentar online dengan mencantumkan nama asli. Sebelumnya, serangkaian tuntutan terkait telah bertahun-tahun tertunda di parlemen di tengah perdebatan sengit.
Sebuah jajak pendapat oleh perusahaan survei Realmeter, dirilis Rabu, menunjukkan hampir 70 persen warga Korea Selatan mendukung skema tersebut, sementara 24 persen lainnya menentang.
"Kebebasan berekspresi adalah nilai vital dalam masyarakat demokratis, tetapi menghina dan melukai martabat orang lain adalah di luar batas itu. Perlu ada hukuman yang jauh lebih keras bagi mereka yang melanggar hukum itu," kata Lee Dong-gwi, seorang profesor psikologi di Universitas Yonsei di Seoul.
Data kepolisian setempat menunjukkan jumlah kasus pencemaran nama baik atau penghinaan dunia maya meningkat hampir dua kali lipat dari 2014 hingga 2018.