Warga antre mengurus kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (30/7/2018)./ANTARA-Yulius Satria Wijaya
Health

JKN, Polemik Tak Berujung

Bagikan

Beberapa waktu lalu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengeluhkan tindakan dokter yang berlebihan dalam melayani pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Terawan mengatakan pelayanan kesehatan yang diberikan dokter seharusnya berupa pelayanan kesehatan dasar, yakni pelayanan kesehatan yang optimal bukan maksimal. Beliau menilai hal ini berujung pada membengkaknya tunggakan pembayaran biaya JKN yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Setelah lebih dari lima tahun beroperasi, penyelenggaraan JKN telah menemui beberapa kendala. Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Daeng Mohammad Faqih, menilai pembenahan sistem JKN seharusnya dilakukan secara menyeluruh, bukan dengan menuding salah satu pihak.

Alih-alih selalu membahas defisit yang membengkak, nyatanya ada masalah mendasar lain terkait gaji dokter dan penyedia layanan kesehatan lainnya. Faktanya, banyak dokter umum dibayar kurang dari Rp4 juta untuk 180 jam kerja per bulan. Ratusan dokter telah lama menyuarakan keluhan mereka mengenai rendahnya biaya jasa dan pengobatan yang ditetapkan dalam sistem reimbursement JKN. Jangankan memberi layanan maksimal, layanan optimal pun sulit dilakukan.

Saat ini, skema JKN membayar penyedia layanan kesehatan swasta dan pemerintah berdasarkan paket yang disebut Indonesia Case-Based Groups (INA-CBG), yang menerapkan sistem reimbursement atau penggantian biaya. Skema ini menggantikan sistem fee-for-service yang diterapkan sebelumnya. Sayangnya, hal ini secara signifikan mempengaruhi pemasukan yang didapatkan oleh rumah sakit serta upah penyedia layanan kesehatan.

Misalnya, biaya konsultasi yang diterima oleh dokter umum saat merawat pasien JKN adalah sekitar Rp 5.000 per pasien dan dijanjikan akan dibayar dalam kurun waktu 12 hari. Nyatanya di lapangan, pembayaran seringkali memakan waktu hingga tiga bulan, yang kemudian memaksa rumah sakit untuk menggunakan dana cadangan guna membayar para pegawainya. Akibatnya, rumah sakit menjadi kekurangan dana untuk membayar klaim penggunaan obat, pemakaian peralatan medis, atau hal lainnya.

Lantas, bagaimana seharusnya penyedia layanan kesehatan mengurangi dampak negatif dari JKN?

Penyelenggaraan JKN sudah sepatutnya tidak mempengaruhi kualitas layanan rumah sakit. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem subsidi silang pada pasien yang menggunakan layanan di luar JKN.

KUALITAS LAYANAN

Rumah sakit perlu membuat keputusan yang bijak untuk mempertahankan kualitas tanpa menyebabkan masalah dalam finansial rumah sakit, dengan menjaga keseimbangan antara pasien pribadi, asuransi swasta, asuransi perusahaan dan JKN. Sosialisasi kepada dokter mengenai mengenai opsi obat-obatan dan peralatan medis yang sesuai untuk setiap pasien juga perlu diprioritaskan.

Selain itu, penyedia layanan kesehatan harus bertindak strategis dalam merencanakan anggaran yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas tanpa membuat kerugian rumah sakit. Dalam hal ini, pegawai bagian sumber daya manusia (SDM) memegang peran penting dalam mengelola jumlah tenaga kerja yang proporsional dengan jumlah pasien dan mempertahankan kualitas pelayanan kesehatan yang baik. Mengetahui rendahnya jumlah reimbursement dari paket INA-CBG, pegawai SDM perlu menciptakan etos kerja pegawai medis yang efektif dan efisien untuk mengoptimalisasi pendapatan rumah sakit.

Meskipun tak luput dari kekurangan, manfaat JKN dalam pelayanan kesehatan di Indonesia tidak dapat dipungkiri. Tentunya, pemerintah memiliki peran sentral dalam menangani masalah JKN dan telah mengambil beberapa tindakan yang patut diapresiasi. Salah satunya adalah upaya pemerintah untuk menjamin BPJS Kesehatan dengan mengalokasikan dana sebesar Rp4,99 triliun pada 2018.

Selain memanfaatkan anggaran nasional, peraturan presiden mengamanatkan penggunaan 50% cukai tembakau untuk layanan kesehatan. Sayangnya, dana ini tidak terlalu membantu menyelesaikan masalah BPJS Kesehatan, mengingat dihadapkan dengan defisit hingga sebesar Rp10,44 triliun.

Selain memastikan kesejahteraan masyarakat, kita juga patut memperhatikan kesejahteraan penyedia layanan kesehatan. Meskipun selalu dikaitkan dengan pengabdian masyarakat, penyedia layanan kesehatan juga perlu hidup dengan gaji yang layak. Jika masih dibayar dengan tidak seharusnya, profesi medis mungkin tidak lagi menarik untuk para siswa cemerlang.

JKN, Polemik Tak Berujung

Dalam hal ini, federasi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan BPJS perlu membahas kebjiakan terkait JKN secara menyeluruh. Misalnya, mereka harus berhati-hati dalam menghitung premi yang sesuai bagi pengguna JKN, untuk memastikan kesejahteraan dokter dan masyarakat. Banyak ahli berpendapat bahwa masalah utama di balik defisit berulang disebabkan oleh premi yang terlalu rendah, yang saat ini berkisar antara Rp25.500 hingga Rp80.000 per bulan.

Pada akhirnya, masyarakat juga memiliki peran yang sama pentingnya dalam menangani masalah JKN. Defisit pada BPJS Kesehatan hanya akan terakumulasi jika jumlah peserta inaktif terus meningkat. Sigit Priohutomo selaku Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, mengatakan pada pertengahan 2019 bahwa jumlah peserta JKN yang tidak aktif adalah 17,37 juta dari total 199 juta peserta. Karena mereka tidak membayar premi, BPJS Kesehatan akan mengalami defisit setidaknya sebesar Rp800 miliar per bulan.

Selain menuntut hak untuk mengakses perawatan kesehatan yang terjangkau, masyarakat sepatutnya tidak mengabaikan kewajiban masing-masing untuk membayar premi JKN setiap bulannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro