Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi Covid-19 membuat konsep drive-in theatre atau teater kendara kembali populer, tak terkecuali di Indonesia. Keharusan untuk menerapkan physical distancing atau menjaga jarak fisik sukses membuat teater kendara kembali populer setelah sempat terlupakan selama puluhan tahun.
Di Indonesia pada dasarnya teater kendara bukanlah sesuatu yang baru. Pada 1970, konglomerat properti (Alm.) Ciputra menghadirkan teater kendara di Binaria atau Ancol, Jakarta Utara yang akhirnya menjadi cikal bakal pengembangan wilayah tersebut menjadi kawasan wisata terpadu Taman Impian Jaya Ancol.
Selama ini banyak yang mengira jika teater kendara di Ancol merupakan teater kendara satu-satunya di Indonesia. Namun, faktanya tidak demikian karena ada Bioskop Kelud di Kota Malang, Jawa Timur yang juga menghadirkan konsep serupa.
Bioskop yang terletak di Jalan Kelud No. 9, Kota Malang itu menjadi salah satu setting atau latar dalam novel 9 Summers 10 Autumns. Iwan, yang tak lain adalah tokoh utama dari novel tersebut diceritakan pergi menonton bersama teman perempuannya di teater kendara Bioskop Kelud.
"Malam itu Mida dan Iwan pergi menonton di drive-in Bioskop Kelud. Jendela mobil Mida terbuka saat memasuki tempat menonton. Iwan melihat beberapa temannya yang sedang antri di loket tiket. Teman-temannya juga melihat ke arah Iwan", demikian kutipan dari novel 9 Summers 10 Autumns.
Novel tersebut kemudian diangkat menjadi layar lebar pada 2013 dengan judul yang sama. Dalam film tersebut suasana teater kendara Bioskop Kelud tergambar dengan jelas.
Potongan film tersebut terbilang sukses memperlihatkan suasana teater kendara bioskop kelud pada awal 1990-an. Penonton terlihat menikmati film "Catatan Si Boy" dari dalam mobil yang populer pada era tersebut seperti Toyota Corolla DX, Mitsubishi Lancer SL, dan Toyota Land Cruiser "Hardtop". Namun, yang menggelitik terlihat sepasang muda-mudi asyik menikmati film sambil duduk di atas sepeda motor mereka.
Ya, teater kendara Bioskop Kelud memang tidak mensyaratkan penontonnya untuk datang dengan mobil seperti teater kendara Ancol. Sepeda motor, becak, pejalan kaki, hingga pedagang dengan pikulan atau gerobak dagangannya bebas masuk ke lapangan yang menjadi area penonton.
Alih-alih dikenal sebagai teater kendara yang identik dengan kaum berpunya, Bioskop Kelud lebih dikenal sebagai bioskop "misbar" atau gerimis bubar oleh masyarakat Malang Raya.
"Bioskop misbar, bioskop rakyat, udan (hujan) panik minggir kabeh (semua) termasuk bakul-bakul (pedagang) keliling. Kecuali yang nonton dari mobil atau ruangan macam tribun di belakang," ujar Hendra, salah satu warga Kota Malang yang punya pengalaman dengan Bioskop Kelud.
Dia menyebut Bioskop Kelud menjadi pilihan masyarakat Malang Raya dari berbagai kalangan menghabiskan waktunya di akhir pekan. Harga karcisnya yang murah dibandingkan dengan bioskop lain di Kota Malang menjadi alasan utama nya.
Walaupun tempatnya juga tak bisa dibilang nyaman dan film yang diputar biasanya terlambat sepekan dari bioskop-bioskop lainnya di kota tersebut.
Predikat bioskop rakyat yang disandang oleh Bioskop Kelud diamini oleh Joko Unang, Ketua Yayasan Delapan Penjuru Angin (Panjura). Yayasan Panjura merupakan pemilik dari bioskop yang oleh warga Malang Raya kerap disebut sebagai "Dulek" atau Kelud dalam bahasa walikan.
"Pemirsa atau penontonnya itu dari segala lapisan masyarakat, mahasiswa, sopir becak, sopir delman, kuli bangunan, pekerja pabrikan. Tidak ada pangsa pasarnya jadi bioskopnya rakyat dari semua golongan," tutur Joko dalam video yang diunggah di kanal Youtube Story of Sense belum lama ini.
Joko menuturkan Bioskop Kelud didirikan pada 1969 oleh dua orang anggota Brigade Mobil (Brimob) Noersalam dan Marsam. Sebelum membuka bioskop tersebut mereka berdua sukses dengan usaha bioskop keliling.
Bioskop Kelud mengalami kejayaannya pada dekade 1970-1980an. Kala itu bioskop tersebut tercatat sebagai pembayar pajak tontonan terbesar di Kota Malang.
Selain itu, Yayasan Panjura sukses membangun Sekolah Menengah Atas (SMA) menggunakan keuntungan dari penjualan karcis Bioskop Kelud. Sekali pemutaran film, bioskop tersebut bisa menampung sampai dengan 6.000 penonton, termasuk dengan kendaraannya.
Joko mengungkapkan tingginya animo masyarakat Malang Raya terhadap Bioskop Kelud sempat merenggut korban jiwa. Pada 1974, seorang penonton meninggal dunia setelah berdesak-desakan dan akhirnya terinjak-injak oleh penonton lainnya
Pamor Bioskop Kelud mulai meredup pada dekade 1990an. Masuknya siaran televisi swasta di Malang Raya ditambah hadirnya jaringan bioskop asal ibukota di Kota Malang membuat bioskop tersebut ditinggalkan dan akhirnya gulung tikar.
Saat ini, lokasi eks Bioskop Kelud berfungsi sebagai lahan parkir bagi pengunjung dan pegawai Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Cabang Kawi. Beberapa peninggalan dari bioskop tersebut masih berdiri kokoh walaupun tak terawat, mulai dari loket, tribun penonton, hingga layar berukuran besar yang tak lain adalah tembok berwarna putih.
Selain itu, dalam beberapa kesempatan lokasi eks Bioskop Kelud juga dimanfaatkan untuk kegiatan mahasiswa sejumlah kampus di Kota Malang hingga pameran buku. Yayasan Panjura sendiri mendukung penyelenggaraan kegiatan tersebut agar lokasi eks Bioskop Kelud masih bisa memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya generasi muda.
"Gunakan [lokasi eks Bioskop Kelud] sebagai ajang pertemuan, ajang inovasi untuk para generasi muda," tutup Joko.