Bisnis.com, JAKARTA – AstraZeneca, salah satu perusahaan yang terlibat dalam perlombaan pengembangan vaksin virus corona tampaknya menemui hambatan. Perusahaan menahan uji klinis di seluruh dunia karena adanya ‘penyakit yang tak bisa dijelaskan’ terhadap pasien uji coba di Inggris.
Perusahaan tidak mengungkapkan reaksi efek samping seperti apa yang terjadi pada peserta uji klinis tersebut. Namun, seorang sumber dari Business Insider yang terkait dengan persoalan ini menyebut bahwa tinggi kemungkinan pasien akan kembali pulih.
Peristiwa seperti ini bukan hal yang aneh dalam proses pengujian vaksin. Terlebih, dalam proses uji coba skala besar yang melibatkan puluhan ribu orang di sejumlah negara. Pengujian klinis yang dilakukan Astrazeneca membagi relawan dalam dua kelompok, satu yang diberikan vaksin dan yang lainnya diberikan plasebo.
“Sebagai bagian dari uji coba global acak dan terkontrol yang sedang berlangsung dari vaksin virus corona Oxford, kami secara sukarela menghentikan vaksinasi untuk meninjau data keamanan oleh komite independen,” tulis AstraZeneca dalam pernyataannya.
Situs berita medis dan bioteknologi STAT juga melaporkan reaksi pasti dari pasien ini tidak diketahui, tetapi diperkirakan bakal pulih. Saat ini, perusahaan harus mencari tahu penyebab dari reaksi pasien yang dilaporkan sebagai ‘penyakit yang tak bisa dijelaskan’.
William Schaffner, profesor di divisi pengobatan dan pencegahan penyakit menular di Vanderbilt University mengatakan bahwa hal seperti ini sangat mungkin terjadi.
Hal pentingnya adalah segera setelah peristiwa itu terjadi, perusahaan harus menghentikan sementara uji klinis untuk kemudian menyerahkan data penyelidikan kepada Badan Pemantauan Keamanan Data, sebagai kelompok ahli eksternal yang akan melakukan penyelidikan.
Dalam hal ini, sangat penting bagi lembaga tersebut untuk mencari penyebab dari reaksi pasien yang mengikuti uji klinis dan menunjukkan adanya penyakit tak bisa dijelaskan tersebut. Apakah hal tersebut memang disebabkan oleh uji klinis vaksin atau hal lain.
Schaffner memberikan contoh hipotesis tentang bagaimana penghentian uji klinis ini bisa terjadi. Misalnya, salah satu peserta uji coba vaksin mengalami serangan jantung tiga hari setelah mendapat vaksin dan harus di rawat di rumah sakit.
“Ini akan dengan cepat dikualifikasikan sebagai kejadian buruk. Kendati kami tidak tahu apakah itu terkait dengan vaksin atau tidak, tetapi kemungkinan ini akan menjadi jenis pemicu yang dapat menyebabkan penundaan untuk diselidiki,” katanya.
Dalam sebuah studi tentang uji fase 1/2 dari vaksin Oxford-AstraZeneca yang diterbitkan pada Juli lalu, dilaporkan bahwa sekitar 60 persen dari 1.000 peserta yang terlibat pengujian mengalami efek samping, seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, dan reaksi di tempat suntikan.
Namun, efek samping yang demikian termasuk efek ringan dalam proses pengujian vaksin. Selain itu, semua efeknya juga mereda selama pengujian berlangsung. Oleh sebab itu, universitas dan perusahaan melakukan uji klinis lanjutan ke populasi yang lebih luas, termasuk di Inggris, Brasil, Amerika Latin, Asia, dan Afrika Selatan.