Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah cara dilakukan untuk menurunkan kolesterol jahat dalam darah, seperti dengan menimun obat berjenis statin. Adakah efek sampingnya?
Statin adalah golongan obat-obatan yang digunakan untuk menurunkan kolesterol dalam darah dengan menurunkan kolesterol jahat alias LDL (low-density lipoprotein) dan menaikan kolesterol baik atau HDL (high-density lipoprotein).
Obat ini juga dapat mencegah serangan jantung dan stroke. Statin mampu menyerap kolesterol yang menumpuk di pembuluh darah untuk menghindari terhambatnya aliran darah dan mencegah penyumbatan lebih lanjut.
Orang-orang yang mengonsumsi obat statin ini melaporkan bahwa mereka mengalami nyeri otot, akan tetapi uji coba acak menunjukkan bahwa sakit yang dirasakan itu tidak berbeda ketika mereka mengonsumsi pil placebo.
Dalam beberapa kasus yang jarang terjadi, statin diketahui menyebabkan rhabdomyolysis. Rhabdomyolysis adalah kondisi otot yang parah, di mana jaringan otot rangka mengalami kerusakan dan bisa memicu komplikasi yang serius. Namun, orang-orang lebih sering mengeluh bahwa obat-obatan hanya menyebabkan nyeri otot biasa.
Lalu apakah statin bertanggung jawab terhadap nyeri otot yang muncul masih belum bisa dipastikan. Nyeri otot disebabkan oleh banyak hal dan kelompok usia lebih tua yang mengonsumsi statin sangat umum merasakan nyeri otot. Jadi, tidak mudah untuk menetukan apakah statin menyebabkan rasa sakit.
Studi baru yang diterbitkan BMJ melibatkan serangkaian yang dikenal sebagai uji klinis n-of-1, sebuah metodologi yang memungkinkan peneliti untuk memeriksa hasil pengobatan dan placebo pada pasien individu, daripada mempelajarinya sebagai kelompok.
Melansir dari New York Times, Rabu (12/5/2021), penelitian ini melibatkan 200 orang di Inggris dan Wales yang telah berhenti atau berencana untuk berhenti mengonsumsi statin akibat nyeri otot yang tidak dapat ditoleransi.
Selama setahun, secara acak pasien mengambil statin atau pil placebo selama enam periode 2 bulan. Separuh waktu mereka menerima 20 miligram Lipitor dan setengah dari mereka mendapat pil yang mirip. Sampai penelitian berakhir, baik para peneliti maupun pasien tidak tahu kapan mereka mengambil statin dan kapan mereka mengambil placebo.
Kemudian selama 7 hari terakhir dari setiap fase 2 bulan, para peneliti mengukur rasa sakit pasien setiap hari menggunakan skala nyeri visual 10 titik tervalidasi, dengan menunjukkan kemungkinan rasa sakit terburuk. Aspek lain yang digunakan, termasuk suasana hati, kenyamanan saat berjalan, hubungan sosial, tingkat aktivitas umum pasien dan kenikmatan hidup.
Studi ini tidak menemukan perbedaan antara periode statin dan placebo, baik dalam nyeri otot maupun laporan mengenai aktivitas kehidupan sehari-hari dan suasana hati. Sekitar 9 persen memilih mengundurkan diri karena rasa sakit saat mereka mengambil statin, begitu juga 7 persen yang mengambil placebo, perbedaan yang tidak signifikan.
Tiga bulan setelah perawatan terakhir, saat pasien diberitahu mengenai hasil mereka, para peneliti bertanya apakah mereka kembali mengonsumsi statin, atau berencana untuk menggunakannya, dan apakah uji coba ini membantu.
Sebagian besar pasien mengatakan bahwa uji coba ini sangat membantu dan lebih dari dua pertiga dikabarkan berencana untuk mulai kembali mengonsumsi statin.
Liam Smeeth, dokter perawatan primer dan profesor epidemiologi klinis di London School of Hygiene and Tropical Medicine, menyampaikan bahwa ketika orang berhenti menggunakan statin karena nyeri otot, mereka kehilangan manfaat besar, mengurangi sepertiga risiko terkena serangan jantung atau stroke.
"Apa yang telah mereka tunjukkan adalah bahwa di antara orang-orang ini yang berhenti minum obat karena sakit, dan rasa sakit mereka nyata, tidak diperparah oleh statin."