Bisnis.com, JAKARTA – Lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia membuat banyak masyarakat dan kebingungan. Tetapi, tak bisa dipungkiri jika masih ada sebagian dari masyarakat yang menganggap hal tersebut seperti angin lalu.
Masyarakat mulai beraktivitas seperti biasa dan tak begitu memperhatikan protokol kesehatan seperti awal pandemi Covid-19 melanda tahun lalu. Alasannya tentu saja sudah jenuh, akan tetapi apa sebenarnya yang membuat masyarakat jenuh di tengah kondisi yang mencekam ini?
Sosiolog dari Universitas Nasional Sigit Rohadi mengatakan kejenuhan masyarakat terhadap pandemi pada dasarnya merupakan sebuah kewajaran apabila dilihat dari sudut pandang sosiologi. Pasalnya, setiap manusia punya batas untuk menoleransi pembatasan aktivitas mereka.
“Di awal-awal atau untuk sementara mungkin bisa dibatasi, tetapi lama-lama tentunya akan jenuh. Ibaratnya kemerdekaan mereka direnggut, mereka tentunya akan berupaya keras agar kemerdekaan itu bisa mereka dapatkan kembali,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Lebih lanjut, Sigit menyebut ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang terjadi di tengah melonjaknya kasus Covid-19 merupakan salah satu contoh dari fatalisme. Fatalisme adalah sebuah pandangan yang meyakini bahwa manusia dikuasai oleh takdir dan tidak ada upaya apapun yang bisa merubahnya.
Menurut Sigit, munculnya pandangan tersebut saat pandemi melanda dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain norma-norma yang dianut, lingkungan, hingga kondisi ekonomi.
“Fatalisme ini dipengaruhi norma-norma yang dianut seseorang, lingkungan seperti apa, tingkat pendidikan, kondisi ekonomi. Mereka yang berpendidikan tinggi dan kondisi ekonominya masih baik di tengah pandemi mungkin tak berpandangan seperti itu. Tetapi bukan tidak mungkin, karena ada titik dimana mereka jenuh dan akhirnya seperti itu juga,” tuturnya.
Sigit menambahkan kondisi pandemi di Indonesia juga diperparah pemerintah dengan kebijakannya yang setengah-setengah. Alih-alih mengambil kebijakan radikal yang bisa menekan penyebaran virus, pemerintah justru memilih bermain aman dengan kebijakan populis.
“Karena pengambil kebijakan kita dasarnya adalah politisi. Mereka bukan mengambil kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah, tetapi kebijakan yang disenangi masyarakat walaupun itu tak menyelesaikan masalah. Tentunya agar dipilih kembali,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia atau IAKMI Hermawan Saputra. Hermawan menyebut kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi bukanlah kebijakan yang mampu memutus mata rantai penyebaran virus.
"Kebijakan rem-gas pemerintah itu adalah kebijakan yang terkatung-katung. Hanya membuat kita menunda waktu saja karena tidak mampu memutus mata rantai Covid. Tidak mungkin kita memenangkan dua-duanya, kesehatan kembali pulih dan ekonomi kembali pulih," tegasnya.