Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan United Nations Development Programme (UNDP) meminta masyarakat untuk berhati-hati terhadap dampak merkuri bagi kesehatan tubuh dan lingkungan.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, merkuri saat ini banyak ditemukan dalam kehidupan sehari, terutama di peralatan rumah tangga, produk kecantikan, bahkan dalam sejumlah kasus terdapat pada makanan.
“Dari hasil kajian dan penelusuran kami, banyak air dan tanah yang tercemar merkuri. Ini bisa menyebabkan kerusakan paru-paru, gangguan pencernaan, kerusakan ginjal, kerusakan sistem saraf pusat, cacat mental, kebutaan, kerusakan otak hingga gangguan pertumbuhan pada anak," terang Vivien dalam diskusi "Waspada Merkuri," yang digelar secara daring, di Jakarta, Rabu (22/12/2021).
Terpaparnya sumber air dan tanah oleh merkuri, kata Vivien, tak terlepas dari masih rendahnya pemahaman masyarakat bahkan industri baik skala besar maupun kecil terhadap unsur kimia ini. Alhasil banyak bahan merkuri bekas industri atau dari produksi besi yang dibuang sembarangan.
“Pemerintah sudah menekan industri manufaktur untuk mengurangi penggunaan merkuri, misalnya pada proses produksi baterai dan produksi lampu, pabrik kosmetik dan biji besi serta melakukan monitoring dan evaluasi emisi merkuri di industri yang masih menggunakan unsur ini," jelasnya.
Dari hasil monitoring dan evaluasi, kata Vivien, seringkali ditemukan penggunaan merkuri secara tidak terkontrol pada pabrik kosmetik ilegal atau penambangan emas skala kecil yang limbahnya dibuang begitu saja di saluran sungai atau tanah.
“Merkuri ini mengendap di tanah dan ikut mengalir pada air. Ini sangat berbahaya sekali karena bisa meracuni sumber pangan, terutama jika misalnya ada ladang padi atau jagung yang lokasinya tidak jauh dari aktivitas PESK. Belum lagi merkuri itu jika mengalir di sungai atau kali mencemari ikan, udang, sayuran yang hidup di ekosistem tersebut,” jelas Vivien.
Ditegaskan Vivien, pemerintah tidak tinggal diam atas pencemaran merkuri. Beberapa regulasi sudah diterbitkan, di antaranya UU No 11 tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri, Perpres No 12 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri, dan Permen LHK No 15 tahun 2019, tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal Pemanfaatan teknologi High Efficiency and Low Emissions (HELE).
Di tingkat internasional, pemerintah bahkan terpilih sebagai Tuan Rumah COP 4 Konvensi Minamata Mengenai Merkuri dan Tahun 2022, Indonesia menjadi Tuan Rumah pelaksanaan Pertemuan COP-4 dan Direktur Jenderal PSLB3 KLHK sebagai Presiden COP4.
Rencananya, pertemuan tersebut akan digelar tahun depan di Bali, dengan dihadiri sekitar 1.000 orang yang antara lain adalah delegasi negara anggota konvensi, perwakilan industri dan asosiasi, perwakilan dari United Nations (UN) hingga akademisi.
Vivien mengingatkan, bahwa upaya pemerintah akan lebih efektif jika dibantu oleh partisipasi masyarakat. Kesadaran dan partisipasi masyarakat, dapat membantu upaya pemerintah untuk mengurangi potensi pencemaran merkuri, sehingga dapat melindungi generasi mendatang.
"Kita wajib melindungi generasi dan lingkungan hidup masa depan dari ancaman bahaya merkuri," kata Rosa Vivien Ratnawati.